Mungkin kita pernah merasa bahwa
kehidupan kita ini kadang sangat membosankan dibanding kehidupan orang lain.
Atau sedikit hiperbolanya, kita pernah merasa bahwa derita kitalah yang paling edan dibanding derita
orang lain di dunia ini. Ya, mungkin perasaan yang pernah kita alami itu sangat
wajar, bahkan manusiawi sekali. Fase hidup tersebut mungkin pernah, sedang atau
telah kita lalui, entah itu intensitasnya sedang atau sering. Fase merasa “paling
menderita sedunia” seolah-olah bila ditelisik sangat hiperbola sekali, serta berlebihan dan bisa
diartikan tidak mensyukuri nikmat atau pemberian Tuhan.
Mungkin masalah
yang kita hadapi cuman sebatas bagaimana susahnya mencari uang. Atau contoh lainnya, masih bisakah kita dapat makan untuk hari ini dan esok
atau tidak?
Masalah dicontoh tersebut mungkin bisa jadi berat bagi sebagian orang, dan ringan oleh sebagian lainnya. Tapi dua contoh itu
bisa jadi pula belum seberapa dibanding oleh orang lain yang ambil contoh
saja sedang dalam situasi; apakah saya masih bisa hidup hari ini di tengah
perang sedangkan perut saya sangat lapar belum makan beberapa hari? Atau situasi dalam keadaan bencana alam maha hebat.
Tapi bila dicermati
secara dangkal oleh otak yang setengah berjalan ini, hal tersebut menjadi sangat relevan saat era
dimana akhir zaman kian mendekat dan tweet sampah bertebaran dan menjadi
trending topik yang membosankan. Ya, zaman dimana indivualistis yang edan dan
kadang intoleransi yang cukup kentara diberbagai sendi kehidupan yang membuat “derita kamu, ya derita
kamu, derita saya ya derita saya”.
Dan super sekali,
dimana rupiah dengan digit sembilan nol berjejer dihambur-hamburkan begitu saja
hanya untuk sebuah kampanye para
politisi untuk diiklankan pada masyarakat. Pilihlah saya dan saya akan membawa perubahan pada
kehidupan anda-anda. Sistem demokrasi yang entahlah
sangat mahal dan tanpa efek yang berguna dan nol manfaat bagi masyarakat
ekonomi super lemah, yang ada hanya
sebuah pencitraan menjemukan saja, manis di bibir, manis di baliho, manis di
ucapan tapi payah dan asem ditindakan. Walau
saya masih sedikit meyimpan asa,dan berharap ada seupil orang diantara segelintir politisi yang memang berjuang untuk rakyat, bukan
untuk yang pemodal berduit. Mungkin ada atau entah saya bermimpi ada sosok tersebut tersempil
diantara sampah-sampah politikus.
“Ahh, derita
rakyat, ya silahkan nikmati sendiri, kami politisi hanya bekerja sesuai orderan atasandangolongan kami”.
Dan kembali saya meracau tak tentu arah, maafkanlah.
Kalau sedang merasa begitu, selalu saja teringat tentang orang-orang di luar sana... saya memang belum pandai bersyukur..
BalasHapusdan saya sedang terus berlatih menjadi pribadi yang selalu bersyukur
karena hidup terus belajar :)
BalasHapuspasti ada, pasti masih ada satu calon pemimpin yang baik di antara yang busuk... yah walopun tetep aja sih, susah juga kalo cuma bener sendirian..
BalasHapusini curhatan orang-orang yang sebenarnya dah pesimis berat sama negeri ini tapi terus dan terus saja berharap...
pesimis tapi optimis saetik (naon deuih)..gkgkgkgk
BalasHapusbila dilandasi iman akan lain ceritanya..
BalasHapus