Sebelumnya : Catatan Perjalanan Gunung Merbabu #1
Seuasai berkemas dan ritual pagi
lainnya, kaki mulai kembali melangkah. Mentari semakin tinggi diiringi terik
yang menghangatkan kulit. Jalur landai mulai tergantikan dengan tanjakan-tanjakan
yang cukup menguras energi. Perjalanan kami kali ini pun masih sama, sepi dan
tidak ada rombongan lain yang bersama kami. Bunga-bunga edelweiss mulai nampak
menghiasi jalan yang kami lalui, selain cantigi dan tumbuhan lain penghuni
merbabu yang seolah tumbuh bahagia. Pos demi pos mulai terlewati, jalur demi
jalur telah terlalui, lukisan panorama alam tersaji menemani perjalanan,
alangkah indahnya secuil sudut negeri ini yang sangat sayang bila kita
mengotorinya.
Gunung merbabu sendiri memiliki
beberapa puncakan, selain puncak kenteng songo, terdapat pula puncak syarif dan
puncak triangulasi. Bentang alam yang memanjang dengan puncakan-puncakan serta
lembahan-lembahan memang menjadi daya tarik gunung merbabu. Sebagai gunung api,
kawah yang terlihat memang tidak cukup besar dan tidak berbentuk cerukan. Yang
terlihat hanya gumpalan batu kekuning-kuningan dengan kepulan asap tipis berbau
belerang di beberapa titiknya
Seusai melewati sebuah jalur
tipis berbatu dan agak sedikit memanjat, sampailah kami di sebuah tanah lapang
yang tidak terlalu luas, di tengahnya terdapat kumpulan batu dengan cerukan kecil
seperti mangkok di dalamnya, itulah kenteng songo, pucuk tertinggi gunung
merbabu. Udara dingin cukup menusuk tulang dan angin yang berhembus cukup
kencang menyambut kami. Di kejauhan lamat-lamat terlihat gunung yang tadi pagi saya
cari, merapi. Ya, merapi memang bersebelahan dengan merbabu. Saya mencoba
membayangkan bagaimana suasana mengerikan saat merapi mengamuk hebat beberapa tahun lalu, yang mana di kaki
gunungnya ribuan orang bermukim dan sangat berakibat fatal terhadap keadaan
masyarakat. Tapi itulah alam, mungkin alam mencoba menyeimbangkan dirinya
sendiri dengan berbagai cara, salah satunya yaitu letusan gunung. Dan kita
sebagai manusia hanya bisa mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungannya.
Tak berapa lama kami di puncak,
kembali kami bergegas turun melalui jalur selo. Lembayung senja berpermadani
awan hiasi langkah kami tinggalkan kenteng songo, sang atap sembilan gunung
merbabu. Gulita mulai menyergap, lampu kepala mulai sinari malam dengan
titik-titik cahaya di kegelapan. Kami ber-7 terus berjalan perlahan menuruni
lereng yang cukup terjal dan licin. Dan hujan seolah ingin menemani perjalanan
kami, akhirnya sampailah kami di sebuah hamparan padang rumput, yang biasa di
sebut dengan pos sabana 2. Di sana kami langsung bergegas membuka tenda dan
memasak hingga akhirnya satu persatu dari kami tertidur pulas ditemani suara hembusan
angin kencang yang berputar-putar menguncang tenda.
Pagi kembali datang sambut awal
hari yang sangat cerah dan dingin. Sabana kecil dibentengi bukit memanjang
hijau muda, jingga merona di ufuk timur hiasi senin yang indah. Gemerlap
buliran embun di permukaan rumput tersibak semburat cahaya. Di atas bukit sana,
saya dan beberapa kawan mencoba menikmati panorama yang tersaji. Indah. Kata
itu mungkin yang cukup mewakili apa yang saya lihat dan rasakan. Gunung merapi
gagah menjulang di hadapan sedikit tersapu kabut. Di sisi lainnya sang mentari
baru keluar dari peraduannya ditengah horizon. Ahh, semua itu mungkin hanya
bonus dari sebuah perjalanan, perjalanan yang mungkin akan dimaknai
berbeda-beda oleh masing-masing dari kami. Letih seharian kemarin menjadi obat pelipur
lara, terdiam dan sejenak merenungi maha besarnya semesta beserta isinya, dan
alangkah egois dan kecilnya kita sebagai manusia.
Hangat mentari berubah menjadi
terik membakar kulit. Perjalanan kami belum berakhir, untuk sampai pintu
gerbang jalur selo dan masih membutuhkan ribuan ayunan langkah. Dari sabana 2
dan seterusnya barulah kami bertemu banyak pendaki dari berbagai daerah
khususnya dari daerah jawa tengah. Jalur-jalur dengan turunan sangat curam
kembali harus kami lalui. Jalur terbuka dan berbukit-bukit mulai berganti
menjadi jalur di dalam hutan yang rimbun. Sepanjang perjalanan, kebersihan
jalur yang kami lalui tidak begitu kentara dengan sampah, hanya dibeberapa
titik banyak sampah berserakan seperti di sabana 2 dan sabana 1. Petunjuk jalur
pun dirasa sangat minim bahkan mungkin hampir tidak ada selain plang penanda
pos. Setelah beberapa jam berjalan, ahh sampailah kami di gerbang pendakian
selo yang sepi. Rasa letih terbayar sudah, sampailah di titik akhir pendakian.
Saya pun kembali teringat kutipan dari Mr. Mallory sang pendaki gunung everest “Because it is there…”
Mau nanya dong, dari lempuyangan ke basecamp wekas nya gimana ya ? dan lokasi basecamp nya dimana ? terimakasih~
BalasHapus