Siluet Gunung Tampomas |
Di medio bulan September ceria, kembali saya ikut berkegiatan bersama kawan-kawan dari komunitas satubumikita. Satubumikita sendiri merupakan sebuah komunitas non profit yang konsen dalam berkegiatan di alam bebas dan wisata. Hari sabtu pagi yang cerah itu , mentari
bersinar cukup hangat menemani kami dalam bis yang melaju menembus
jalanan kota Bandung yang ramai di akhir pekan. Mentari semakin terik
dan tak lagi hangat, tak terasa perjalanan kami pun sudah sampai di
pemberhentian terakhir bis Damri di bilangan kampus Unpad Jatinangor.
Ya, persinggahan kami disana sebelum menempuh perjalanan pendakian
menuju sebuah Gunung di sebelah utara Kabupaten Sumedang yang merupakan
bekas dari kerajaan Sumedang Larang. Gunung yang akan kami tuju tersebut
sekarang biasa disebut dengan Tampomas atau menurut catatan Pangeran
Sunda Bujangga Manik adalah Gunung Tompo Omas.
Sebelum terik semakin menggila dan
anggota pendakian sudah terkumpul semua, kami pun beranjak bergegas dari
kampus Unpad Jatinangor melaju dengan angkutan umum berwarna cokelat
menuju titik awal pendakian di daerah Cibeureum. Sebelum menuju arah
kota, kami pun melewati sebuah jalan yang terkenal dan bersejarah, ya
apalagi kalu bukan Cadas Pangeran. Cadas Pangeran merupakan sebuah jalan
yang masih bagian dari Jalan Raya Pos (yang dibangun / direncanakan
oleh Gubernur Jenderal Daendels) dari Anyer - Panarukan yang memakan
korban jiwa para pekerjanya karena harus membobok cadas bukit dengan
cara manual. Yang menarik adalah sang bupati pada saat itu,
Pangeran Kusumadinata IX (1791-1828) atau yang lebih populer dengan
sebutan Pangeran Kornel, beliau berani memprotes dan agak sedikit
menantang sang Gubernur Jenderal Daendels atas kesemena-menaan dalam
pembangunan jalan tersebut dengan
bersalaman dengan tangan kiri sedang tangan kanan memegang keris. Yang
konon akhirnya sang Daendels yang terkenal galak tersebut mengerahkan
pasukan dan alat beratnya untuk memudahkan pembuatan jalan dengan
membobok bukit cadas tersebut.
Setelah melewati Cadas Pangeran dan
wilayah kota Sumedang, perjalanan pun terus melaju ke arah utara dan
sampailah kami di daerah Cibeureum sebagai titik awal pendakian. Dari
kejauhan lamat-lamat sang Tampomas mulai terlihat. Bada dzuhur dan
makan siang perjalanan yang sebenarnya kami mulai. Kami ber-24 orang
mulai berjalan perlahan di tengah terik mentari dan debu jalanan. Jalan
yang kami lalui adalah jalur menuju penambangan pasir di kaki Tampomas.
Penambangan pasir yang masif tersebut menurut banyak orang beroperasi 24
jam sehari tanpa henti dan merupakan salah satu sumber APBD Sumedang.
Sedikit miris memang.
Untuk menuju batas antara jalan raya dan
hutan pinus sebagai pintu masuk Tampomas, kami pun beruntung dapat
menumpang truk yang akan mengangkut pasir. Hawa panas dan debu pasir
yang berterbangan menemani sejenak perjalanan kami. Tak lama sampailah
kami di tempat penambangan pasir dan dari sana kaki pun mulai bekerja,
melangkah berjalan beriringan. Menurut laman www.volcanodiscovery.com,
Gunung Tampomas masih digolongkan sebagai Gunung berapi aktif di
Jawa Barat. Tambahnya lagi Tamponas merupakan gunung kecil andesit
stratovolcano yang menghadap dataran pantai utara. Tampomas sendiri
mempunyai ketinggian sekitar 1684 M dpl. Selain Jalur Cibeureum (atau
biasa disebur juga jalur Cimalaka) ada pula jalur pendakian lain yaitu
Jalur Narimbang (Conggeang) dan dua jalur lain yang tidak begitu
terkenal yaitu Padayungan dan Karangbungur.
***
Sebelum memasuki pintu hutan, sejenak kami kembali beristirahat dan
berbincang sejenak dengan warga sekitar. Menurut warga, Tampomas
memiliki beberapa kuncen, dan salah satu kuncen yang masih hidup di
daerah Cibeureum adalah Ma Uju. Setelah berbincang dan beristirahat
sejenak, kami mulai berjalan kembali dan sekitar 45 menit sampailah di
pintu hutan (pinus). Vegetasi mulai berubah menjadi hutan yang ditumbuhi
pohon-pohon keras yang berukuran cukup besar dan ditumbuhi pula oleh
berbagai pohon lainnya dan berbagai jenis semak yang membuat udara
menjadi sejuk. Sebelum melakukan pendakian beberapa anggota pun
menyempatkan diri mengambil air di sumber mata air yang berada di sebuah
lembahan kecil di dekat pohon Beringin dan kelapa.
Jalur awal yang masih landai masih membuat kami bersemangat dan
rombongan masih dalam satu grup. Lama kelamaan jalur semakin menanjak
dan rombongan mulai terpecah menjadi dua grup. Sore mulai menggelayut
dan tak terasa gelap mulai menyeruak dan menyusul kemudian halimun yang
cukup tebal. Jalur yang terkenal di Tampomas dan sebagai tempat memberi
sesajen adalah Sanghyang Tikoro (kurang lebih berarti "Tenggorokan
Dewa") dan Sanghyang Taraje (kurang lebih berarti "Tangga Dewa"). Selain
untuk nama jalur Sanghyang Taraje pun dikenal sebagai nama dari puncak
Gunung Tampomas. Mungkin penamaan Sangyang Taraje bisa merujuk pada
tangga tempat berjalannya para dewa menuju langit, karena tempat yang
paling tinggi dan paling dekat dengan langit.
Tentang
sasakala Gunung Tampomas sendiri. Konon Gunung Tampomas dulu bernama
Gunung gede yang saat itu akan meletus dan harus diberi tumbal keris
emas oleh Bupati yang menjabatnya saat itu. Berkat
kearifan sang bupati yang mau menumbalkan keris emasnya ke dalam kawah
tampomas, akhirnya gunung tersebut tidak jadi meletus dan penamanaan
Gunung tersebut pun berubah menjadi Gunung Tanpa emas dan berubah
menjadi Tampomas.
***
Sekitar pukul 20.30, semua anggota pendakian selamat sampai puncak dan
disambut dengan angin yang berhembus kencang. Setelah memasak,
berbincang, menikmati malam, menikmati gemerlap lampu kota dan
mendirikan tenda, satu persatu dari kami mulai kembali ke peraduannya
masing-masing. Dan perlu diingat juga, di puncak Tampomas anginnya cukup
kencang dan adanya pula bahaya petir apalagi saat hujan serta perlu
hati-hati juga gangguan dari babi hutan.
Entahlah apa yang masing-masing kami mimpikan semalam di Puncak
Tampomas, yang pasti sang mentari pagi mulai menyapa kami. Lamat-lamat
pemandangan kota Sumedang mulai terlihat serta gunung-gemunung nun jauh
di sana gagah menjulang. Langit cerah berawan biru menemani prosesi
masak memasak pagi yang menyenangkan dan makan pagi bersama adalah yang
kami tunggu. Terima kasih Tuhan, indahnya suasana alam bersama kawan.
Setelah makan pagi, membersihkan sampah dan sesi foto dokumentasi,
perjalanan turun pun dimulai. Sebelum benar-benar turun, kami sempatkan
diri mengunjungi kompleks situs batu yang berada di sebelah utara
puncak, situs batu tersebut biasa disebut dengan "Pasarean", yang bisa
diartikan sebagai "Tempat untuk tidur" (makam).
Pasarean menurut beberapa sumber merupakan petilasan atau makam dari
Prabu Siliwangi dan Dalem Samaji. Pasarean sendiri adalah kompleks yang
terdiri dari dua tempat yang berbeda jarak dan ketinggiannya, salah
satu tempat berada di ketinggian dan satunya lagi berada di bawah di
tengah rimbunan pohon. Di setiap batu yang menyerupai lingga dibalut
oleh kain putih, dan terdapat beberapa gundukan batu yang menyerupai
makam atau memang sebuah (masih belum ada informasi yang pasti apakah
temapt tersebut adalah makam atau petilasan). Di kompleks tersebut
memang menurut masyarakat sekitar sering dijadikan tempat berziarah.
Benar atau tidaknya situs tersebut makam ataupun hanya petilasan Prabu
Siliwangi, tempat tersebut harus tetap terjaga, karena itu termasuk
dalam kearifan budaya, khususnya masyarakat sunda. Terima kasih.
Tulisan ini dimuat juga di jurnal satubumikita.
wah sepertinya seru ya kang rame2 mendaki tampomas :)
BalasHapuspadahal kalau mendaki dari arah cibeureum itu rumah saya terlewati loh kang di cimalaka hehe, kapan2 kopdar yu kang...
memang sayang ya keindahan tampomas ini terusik oleh pengerukan pasir yang menurut saya dan warga lainnya disini itu sudah terlalu berlebihan dan merusak alam.
Ikut senang kang dengan pendakiannya, kapan2 mampir lagi kesini kang
siap kang :)
HapusKegiatan yang sangat mengasyikkan gan, jadi pengen ngikut nih ha ha ..
BalasHapusSungguh indah pemandangannya , kegiatan ini juga tentunya akan menambah tebal iman kita kepada Sang Pencipta, yang telah memberikan keindahan yang tiada tanding ....
salam sukses