Museum Jakarta |
Bertolak dari Bandung menggunakan bis di terminal antarkota Leuwi Panjang, hari minggu siang itu bis yang saya tumpangi langsung cepat melaju tanpa banyak ngetem. Gerangan di hari itu tujuan saya adalah ibukota. Karena niat saya untuk jalan-jalan, jadi kemacetan serta tetek bengek hal yang menyebalkan khas ibukota sedikit saya lupakan, dan coba dibawa senang saja. Setelah keluar tol dan mendarat selamat di jalan dalam kota, saya langsung mencari shelter busway dengan jurusan Harmoni, dari harmoni lanjut naik busway lagi ke shelter RS Tarakan untuk janjian dengan teman bernama Gustaf orang Cimahi.
Sedikit intermezo, saya suka sistem
yang diterapkan oleh busway (TransJakarta) yang memang cukup membantu. Karena
bila kita ingin berpindah ke shelter lain kita tinggal turun di shelter
pengalih dan naik busway jurusan tujuan kita serta tidak usah membayar tiket
lagi, kecuali kita keluar dari area shelter atau turun di titik akhir
pemberhentian busway. Sistem dan Busway tersebut sepertinya cocok juga
diterapkan di Bandung yang jalannya cukup berliku tapi mungkin bisa jadi
masalah besar bagi supir angkot.
Oke sudah, saya skip tentang
busway.
Singkat cerita, setelah janjian
dengan Gustaf orang Cimahi yang mengadu nasib di Jakarta, sorenya setelah
istirahat sebentar di kosannya di daerah Tanah Abang, kami berdua langsung meluncur
jalan kaki dan naik busway dilanjut naik kopaja menuju tempat Mba Ibet di
Cilincing. Tempat yang dimaksud adalah sebuah rumah yang dijadikan tempat
belajar komunitas anak-anak sekitar Cilincing, kalo ga salah inget namanya
Gubuk IPPA, lupa saya ga nyatet apa itu kepanjangan IPPA..hehe.
Setelah perjalanan dari ujung ke
ujung Jakarta kami pun sampai di tempat yang di maksud. Seusai diantar oleh Juned
yang saya kira masih sekolah tapi ternyata sudah lulus sekolah dan bekerja.
Saya dan Gustaf pun akhirnya sampai juga di “gubuk” sehabis maghrib. Ini
kunjungan kali pertama kami ke “gubuk” mba ibet, ya sebelumnya mba ibet sudah
sering berkunjung ke Bandung saat kami ngadain kegiatan alam bebas atau
pendakian gunung. Jadi kalo boleh meminjam istilah para pejabat, bisa dikatakan
kami sedang Kunjungan Diplomatik (ribet amat..hehe). Oke simpel dan intinya sih
silaturahmi, maen dan ngobrol.
Mba ibet yang punya hobi jalan-jalan dan sudah pernah menginjakkan kaki di
Mahameru bulan November lalu itu, mengelola dan merintis sebuah komunitas
belajar dan pengarahan bakat untuk anak-anak sekitar Cilincing. Salut deh buat
mba ibet. Pas kami kesana, anak-anak cepet banget akrabnya, anak-anak kecilnya
ga canggung buat berinteraksi dengan orang baru yang berkunjung, tapi malahan
saya yang sedikit canggung..hehe.
Saya jadi teringat saat pendakian
ke Gunung Guntur Garut beberapa bulan yang lalu, saat malam di sebuah tanjakan
maut yang asoy, Mba ibet menyerukan “Demi
Kemanusiaan” .
***
Cerita di ibukota kembali
berlanjut, setelah kunjungan diplomatik ke Cilincing, esoknya di hari senin
saya putuskan tuk jalan-jalan sendiri melihat secuil angkuhnya ibukota, karena
Gustaf harus kerja. Kawasan pertama yang jadi incaran saya adalah kawasan kota
tua, sisa dari “Oud Batavia” yang masih menyimpan keanggunannya dan tentunya
sisa simbol keangkuhan masa kolonial. Tapi apapun itu, kawasan kota tua
merupakan artefak bersejarah yang memang harus di jaga. Saya kembali teringat
pada Bandung yang mempunyai kawasan “kota tua”, yaitu ruas jalan Braga. Braga
memang pernah diwacanakan untuk dijadikan kawasan pedestrian seperti layaknya
kota tua Jakarta, ya entahlah kenapa tidak terealisasi, atau mungkin memang
wacana tersebut mengawang hanya menjadi wacana saja dalam konteks tanpa implementasi,
entahlah. (hehe, sok kritis)
Oke, mari lupakan sejenak
Bandung. Objek bangunan pertama yang saya cari adalah Toko Merah. Saya tertarik
dengan sejarahnya yang sangat panjang, terlebih setelah membaca handsout yang
berjudul “Toko Merah, Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung” yang diberi oleh si ujang endey saudara saya
beberapa tahun yang lalu setelah dia mengikuti tur sejarah di kawasan kota tua.
Menurut handsout tersebut, Toko Merah dibangun pada tahun 1730 oleh Gustaff
Willem Baron van Imhoff yang kemudian si Gustaff orang Belanda (ingat bukan Gustaf orang Cimahi dan yang ini huruf
‘f ‘ nya ada dua) tersebut jadi Gubernur
VOC. Bisa dibayangin dong, umur bangunan tersebut udah lebih dari 250 tahun.
Banyak bangunan yang menarik
untuk saya nikmati di sisa kejayaan “Oud Batavia”, arsitekturnya cukup menarik
dan unik, walau saya ga ngerti, hanya sekali-sekali menjadi penikmat arsitektur
bangunan lawas khususnya peninggalan zaman Belanda. Bangunan menarik lainnya yang
sangat mencolok karena ukurannya yang sangat besar di antara bangunan yang lain
adalah Gedung Museum Jakarta, atau gedung balaikota (Staadhuis) yang menghadap
ke area Taman Fatahilah yang berupa lapangan luas. Banyak pula ornamen di
sekitar kawasan kota tua berupa meriam-meriam serta bola-bola batu peninggalan
zaman dulu yang ditata sedemikian rupa untuk mengesankan ke “tua” an Batavia
lama. Selain itu banyak orang yang menyewakan sepeda berjenis onthel atau
sepeda wanita khas seperti noni-noni Belanda.
Selain banyak bangunan yang telah
berubah fungsi, baik itu yang terawat, terbengkalai bahkan hampir rubuh pun
ada. Ada beberapa bangunan yang masih di gunakan untuk berbagai keperluan
seperti perkantoran ataupun museum. Beberapa museum yang menempati bangunan tua
selain museum jakarta diantaranya, museum wayang, museum keramik dan museum bank mandiri. Agak
sedikit sial juga, saya datang saat hari senin jadi saya ga bisa masuk museum
sejarah jakarta karena tiap hari senin tutup. Sedikit mencoba masuk ke
lorong-lorong di tiap sudut kota tua yang kurang terjamah, kesan bangunan yang
kusam membuat bangunan yang apabila di foto sepertinya memancarkan aura “tua”
nya, dan sangat sayang kalo tidak diabadikan melalui jepretan kamera saku.
***
Esoknya saat hari selasa, sebelum
saya pulang ke Bandung. Saya masih penasaran untuk sedikit mengeskplorasi
kawasan Kota tua dan sekitarnya. Saya berniat masuk ke salah satu museum yang
ada disekitar Kota Tua, tapi lagi-lagi saya sial. Saya malah menjadi malas masuk karena melihat saking banyaknya orang khsususnya
anak sekolah yang keluar-masuk museum. Kalo terlalu banyak orang di museum,
kurang seru juga kan. Ya sudah, saya memutuskan untuk kembali mengitari bagian
luar kota tua.
Kali ini saya berjalan ke area bantaran sungai Ciliwung. Bau dan airnya cukup hitam, sangat disayangkan pula. Saya pun mencoba menyusuri bantaran sungai ciliwung yang diapit oleh bangunan-bangunan peninggalan kolonial, waah kalo saja air sungainya bersih, jernih, herang, mencrang pasti keren banget. Berjalan terus sampai ke arah muara Ciliwung, sampailah saya di jembatan kota intan yang sudah tidak difungsikan. Lalu kembali menyusuri Ciliwung, dan saya pun sejenak terhenti di bangunan menara Syahbandar, kata petugas bangunannya sedang direnovasi. Dan saya pun akhirnya dapat masuk ke salah satu museum yaitu museum Bahari yang berada dekat dengan menara, saat itu museumnya sedang sepi atau entah emang sepi terus. Seperti namanya Bahari, museum tersebut berisi tentang seluk beluk perbaharian/kelautan/pelayaran di indonesia dari masa kerajaan-kerajaan hingga kolonial dan masa sekarang. Bangunannya cukup luas dengan terbagi menjadi beberapa ruangan. Setelah puas berkeliling museum, saya pun kembali ke kawasan kota tua dengan berjalan kaki kembali, dan ada objek menarik yang saya temui yaitu galangan kapal VOC. Tapi sangat sayang, perjalanan di hari terakhir saya di “oud batavia” itu, saya tak membawa kamera dan dapat mengabadikan lewat gambar.
Kali ini saya berjalan ke area bantaran sungai Ciliwung. Bau dan airnya cukup hitam, sangat disayangkan pula. Saya pun mencoba menyusuri bantaran sungai ciliwung yang diapit oleh bangunan-bangunan peninggalan kolonial, waah kalo saja air sungainya bersih, jernih, herang, mencrang pasti keren banget. Berjalan terus sampai ke arah muara Ciliwung, sampailah saya di jembatan kota intan yang sudah tidak difungsikan. Lalu kembali menyusuri Ciliwung, dan saya pun sejenak terhenti di bangunan menara Syahbandar, kata petugas bangunannya sedang direnovasi. Dan saya pun akhirnya dapat masuk ke salah satu museum yaitu museum Bahari yang berada dekat dengan menara, saat itu museumnya sedang sepi atau entah emang sepi terus. Seperti namanya Bahari, museum tersebut berisi tentang seluk beluk perbaharian/kelautan/pelayaran di indonesia dari masa kerajaan-kerajaan hingga kolonial dan masa sekarang. Bangunannya cukup luas dengan terbagi menjadi beberapa ruangan. Setelah puas berkeliling museum, saya pun kembali ke kawasan kota tua dengan berjalan kaki kembali, dan ada objek menarik yang saya temui yaitu galangan kapal VOC. Tapi sangat sayang, perjalanan di hari terakhir saya di “oud batavia” itu, saya tak membawa kamera dan dapat mengabadikan lewat gambar.
Sekitar bada dzuhur saya pun tiba
di Stasiun Kota yang notabene termasuk bangunan cagar budaya, dengan bangunan
luar yang melengkung. Segera saja saya membeli tiket kereta patas ekonomi ke
purwakarta untuk selanjutnya dari purwakarta diteruskan ngeteng menggunakan
angkutan umum dan KRD ekonomi menuju Bandung. Yahh, Itulah seupil cerita
perjalanan yang mungkin kurang menarik.
Terima kasih semua, caww.
Catatan: Tulisan ini hanya
sekedar catatan perjalanan pribadi saja. Foto tak ditampilkan karena memorinya
ga ada di saya..hehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak anda.
Terima kasih sudah berkomentar