Hari keberangkatan pun tiba, jumat malam saya bersama kawan-kawan satubumikita telah berkumpul di bilangan terminal Guntur Garut yang sepi. Sekitar pukul 22.30 perjalanan dimulai, tujuan kami saat itu adalah menuju titik awal penelusuran pantai di Garut selatan yaitu pantai Ranca buaya. Mobil bak terbuka yang kami sewa melaju dengan pasti, angin kencang berhembus dingin, temaram sang malam semakin membuat dingin dan senyap di jalan beraspal yang sepi.
Ahh, akhirnya sampailah kami di titik awal yang kami tuju, Rancabuaya, sebuah pantai berkarang yang cukup terkenal di wilayah selatan garut dan sekitarnya. Kami tiba di sana sekitar pukul 04.15, perjalanan bermobil bak terbuka ternyata diluar dugaan membutuhkan waktu sekitar 6 jam. Sekitar pukul 08.00, setelah dirasa cukup beristirahat dan makan pagi, perjalanan penyusuran pantai dengan berjalan kaki dimulai. Rancabuaya saat itu cukup mendung, dengan ombak yang cukup besar menggelegar. Menurut warga sekitar ombak yang kami lihat tersebut belum cukup besar dibanding beberapa hari yang lalu.
Penelusuran pantai dimulai, rencana awal jalur dan pantai yang akan kami susuri adalah Rancabuaya - Puncak Guha - Taman Manalusu - Santolo. Dan setelah berjalannya waktu rencana tersebut berubah menjadi Rancabuaya - Santolo - Sayang Heulang.
Rancabuaya
Perjalanan dimulai dari Pantai Rancabuaya, pantai berkarang yang cukup panjang dengan ombak selatan yang besar. Menurut sebuah web wisata, menyebutkan bahwa pantai tersebut sering digunakan sebagai penelitian terumbu karang oleh para peneliti dari luar negeri, mungkin cukup beralasan pula memang karena pantai dengan kontur berkarang yang terhampar luas di sepanjang garis pantai. Entahlah saya sedikit bertanya-tanya kenapa dinamai Pantai "Rancabuaya" dan sejarahnya dari namanya tersebut. Seingat dan setahu saya, Ranca (dalam bahasa sunda) kurang lebih berarti rawa, bisa jadi Buaya yang dimaksud adalah buaya rawa yang bermuara ke pantai "Rancabuaya". Bisa jadi (hipotesis ngaco) bermaksud: Pantai "Rawa tempat buaya" atau "Rawa yang menyerupai (bentuknya) seperti buaya", entahlah.
Ombak selatan menyambut awal petualangan kami, di sisi yang berpasir putih perahu-perahu nelayan terparkir rapih dan para pelancong yang asyik bermain serta menikmati panorama sisi selatan garut dan tak lupa juga para pemancing yang dengan sabar menunggu umpannya tersangkut ikan laut. Kami ber-9 berjalan menyusuri garis pantai hingga mentok ke sebuah tebing tinggidan melipir jalan beraspal yang berada di tengah sebuah padang rumput yang luas. Di sana terdapat beberapa spot asyik untuk menikmati pantai dan laut lepas (Samudera Hindia) yang biru kehijauan dengan deburan ombak besar menyisir tergulung angin. Angin bertipu cukup kencang diatas bukit sana tapi cukup menyegarkan, sapi yang tanpa gembala seolah menjadi penguasa padang rumput beratap langit biru.
Seusai menikmati panorama dari atas, perjalanan berlanjut kembali. Terik sang surya mulai tak bisa terelakkan lagi dan pagi mulai berganti hari yang menyiangi. Kami pun berjalan menjauh dari pantai dan mulai memasuki jalan utama desa. Untuk menuju rancabuaya sendiri ada 2 jalur yaitu dari Pangalengan (Bandung selatan) dan Pameungpeuk (Garut Selatan, serta ada jalur alternatif dari garut lainnya yaitu jalur Bungbulang). Kami berjalan ke arah yang menuju pameungpeuk dengan kondisi jalur tanah yang jelek dan sebagian besar lagi telah diaspal dengan baik. Selang beristirahat kami pun beruntung mendapatkan tumpangan truk tentara yang menuju Cikajang Garut, lumayan menghemat waktu dan tenaga. Seperti yang telah disebutkan di awal, rencana awalnya akan berkunjung ke puncak Guha dan Taman Manalusu kami skip 2 objek tersebut dan langsung menuju Pantai Santolo.
Santolo
Setelah menumpang truk tentara dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam akhirnya sampailah kami di persimpangan Santolo. Setelah pamitan kepada tentara yang baik memberi tumpangan, perjalanan menuju Santolo kami mulai. Dari simpang santolo yang berupa lapang dan sebuah minimarket kami berjalan ke arah petunjuk jalan. Terik mentari semakin menjadi, tapi suhu tubuh tak begitu kentara panas, kami malah kebanyakan memakai jaket. Setelah berjalan sekitar 45 menit, serasah dan semak dengan sampah berserakan menyambut kami, tapi di balik itu pasir putih yang sepi dan ombak kecil bergulung seolah tersenyum riang kepada kami. Seusai sedikit merebahkan badan dan membuka bivoac, saatnya kami bercengkrama dengan air laut dan bercumbu dengan alam. Pasir putih, ombak yang sedang dengan garis pantai yang cukup panjang, itulah santolo. Alam garut memang patut dibanggakan, tak heran dulu sempat berjuluk "swiss tanah jawa" dengan kontur tengah kotanya yang berjejer gunung. Serta tak mengherankan pula ada yang menyebut santolo sebagai "kuta ala jawa barat". Ya, santolo memang lebih terkenal dibanding pantai-pantai yang ada di Garut selatan lainnya, mungkin karena berbagai faktor, seperti akses jalan yang baik dan tentunya kontur pantai yang berpasir putih.
Sore mulai menggelayut, terik mulai mereda, keceriaan masih terasa, bercemgkrama dengan kawan dan alam, mensyukuri dan merenungi semesta yang luas ciptaan karya sang "Pencipta". Sebelum senja beranjak, seusai mengisi perut yang meronta perjalanan kembali berlanjut untuk menuju destinasi terakhir yaitu Pantai "Sarang Burung Elang" (sayang heulang). Sebelum menuju Sayang Heulang, kami sempatkan diri untuk mandidan membeli ikan laut yang cukup segar dengan bau amisnya yang menyengat. Senja kala mulai menyeruak, panorama matahari tenggelam tak begitu kentara kami nikmati, awan kelabu menutupi sang surya yang malu menampakan diri. Santolo dan Sayang Heulang merupakan pantai yang bersebelahan yang dibatasi oleh sebuah muara dan pelabuhan kecil.
Sayang Heulang
Sebelum maghrib berkumandang, akhirnya kamipun telah sampai di sisi Pantai Sayang Heulang dan mulai membuka bivoac dan tenda. Ombak yang besar sungguh terasa di sini, dibanding Santolo, pantainya pun percampiuran antara pasir dan karang. Malam mulai datang, saatnya sesi memasak ceria, dengan menu utama ikan bakar yang dalam waktu beberapa menit langsung tinggal tulangnya. Malam semakin malam, satu persatu mulai memasuki alam tidurnya dan mimpinya masing-masing.
Akhirnya pagi datang, dan saya pun berkesempatan menikmati matahari terbit yang tak malu menampakkan diri. Pantai sayang heulang mulai terlihat keanggunannya, garis pantai yang sangat panjang dengan kontur yang bervariasi. Seusai makan pagi dengan menu spesial yaitu kepala kakap bumbu santan perjalanan masih panjang, dan di hari minggu itu adalah hari terakhir kami menyusuri secuil ombak selatan garut. Di sayang heulang sebenarnya kita tidak usah takut untuk bermalam dan kelaparan, karena sangat banyak warung serta penginapan yang berdiri dengan variasi harga yang berbeda-beda tentunya. Penyusuran di hari terakhir ini sepertinya menjadi yang terlengkap, karang yang menyembul berbukit dan pasir putih.
Sekitar pukul 10.00, kami putuskan untuk berbelok dan menjauh dari garis pantai dan mecari jalan utama, karena pertimbangan hari yang mulai siang dan ujung pantai sayang heulang yang sepertinya masih cukup jauh. Di sebuah semak yang sepi kami berbelok dan akhirnya kami menemui jalan setapak dan keluar dijalan tanah. Selanjutnya perjalanan menyusuri jalan berbatu di tengah sawah. Sebelum adzan berkumandang kami sempatkan beristirahat di sebuah masjid dan setelahnya melanjutkan perjalanan pulang. Setelah bertanya pada warga akhirnya kami keluar di jalan utama Pameungpeuk. Perjalanan 2,5 hari itu pun berakhir.
Terima kasih
tags : susur pantai garut selatan, susur pantai garut, santolo, rancabuaya, sayang heulang, satubumikita, garut selatan, bandung-santolo, trek penelusuran pantai garut
Ahh, akhirnya sampailah kami di titik awal yang kami tuju, Rancabuaya, sebuah pantai berkarang yang cukup terkenal di wilayah selatan garut dan sekitarnya. Kami tiba di sana sekitar pukul 04.15, perjalanan bermobil bak terbuka ternyata diluar dugaan membutuhkan waktu sekitar 6 jam. Sekitar pukul 08.00, setelah dirasa cukup beristirahat dan makan pagi, perjalanan penyusuran pantai dengan berjalan kaki dimulai. Rancabuaya saat itu cukup mendung, dengan ombak yang cukup besar menggelegar. Menurut warga sekitar ombak yang kami lihat tersebut belum cukup besar dibanding beberapa hari yang lalu.
Penelusuran pantai dimulai, rencana awal jalur dan pantai yang akan kami susuri adalah Rancabuaya - Puncak Guha - Taman Manalusu - Santolo. Dan setelah berjalannya waktu rencana tersebut berubah menjadi Rancabuaya - Santolo - Sayang Heulang.
Rancabuaya
Perjalanan dimulai dari Pantai Rancabuaya, pantai berkarang yang cukup panjang dengan ombak selatan yang besar. Menurut sebuah web wisata, menyebutkan bahwa pantai tersebut sering digunakan sebagai penelitian terumbu karang oleh para peneliti dari luar negeri, mungkin cukup beralasan pula memang karena pantai dengan kontur berkarang yang terhampar luas di sepanjang garis pantai. Entahlah saya sedikit bertanya-tanya kenapa dinamai Pantai "Rancabuaya" dan sejarahnya dari namanya tersebut. Seingat dan setahu saya, Ranca (dalam bahasa sunda) kurang lebih berarti rawa, bisa jadi Buaya yang dimaksud adalah buaya rawa yang bermuara ke pantai "Rancabuaya". Bisa jadi (hipotesis ngaco) bermaksud: Pantai "Rawa tempat buaya" atau "Rawa yang menyerupai (bentuknya) seperti buaya", entahlah.
Ombak selatan menyambut awal petualangan kami, di sisi yang berpasir putih perahu-perahu nelayan terparkir rapih dan para pelancong yang asyik bermain serta menikmati panorama sisi selatan garut dan tak lupa juga para pemancing yang dengan sabar menunggu umpannya tersangkut ikan laut. Kami ber-9 berjalan menyusuri garis pantai hingga mentok ke sebuah tebing tinggidan melipir jalan beraspal yang berada di tengah sebuah padang rumput yang luas. Di sana terdapat beberapa spot asyik untuk menikmati pantai dan laut lepas (Samudera Hindia) yang biru kehijauan dengan deburan ombak besar menyisir tergulung angin. Angin bertipu cukup kencang diatas bukit sana tapi cukup menyegarkan, sapi yang tanpa gembala seolah menjadi penguasa padang rumput beratap langit biru.
Seusai menikmati panorama dari atas, perjalanan berlanjut kembali. Terik sang surya mulai tak bisa terelakkan lagi dan pagi mulai berganti hari yang menyiangi. Kami pun berjalan menjauh dari pantai dan mulai memasuki jalan utama desa. Untuk menuju rancabuaya sendiri ada 2 jalur yaitu dari Pangalengan (Bandung selatan) dan Pameungpeuk (Garut Selatan, serta ada jalur alternatif dari garut lainnya yaitu jalur Bungbulang). Kami berjalan ke arah yang menuju pameungpeuk dengan kondisi jalur tanah yang jelek dan sebagian besar lagi telah diaspal dengan baik. Selang beristirahat kami pun beruntung mendapatkan tumpangan truk tentara yang menuju Cikajang Garut, lumayan menghemat waktu dan tenaga. Seperti yang telah disebutkan di awal, rencana awalnya akan berkunjung ke puncak Guha dan Taman Manalusu kami skip 2 objek tersebut dan langsung menuju Pantai Santolo.
Santolo
Setelah menumpang truk tentara dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam akhirnya sampailah kami di persimpangan Santolo. Setelah pamitan kepada tentara yang baik memberi tumpangan, perjalanan menuju Santolo kami mulai. Dari simpang santolo yang berupa lapang dan sebuah minimarket kami berjalan ke arah petunjuk jalan. Terik mentari semakin menjadi, tapi suhu tubuh tak begitu kentara panas, kami malah kebanyakan memakai jaket. Setelah berjalan sekitar 45 menit, serasah dan semak dengan sampah berserakan menyambut kami, tapi di balik itu pasir putih yang sepi dan ombak kecil bergulung seolah tersenyum riang kepada kami. Seusai sedikit merebahkan badan dan membuka bivoac, saatnya kami bercengkrama dengan air laut dan bercumbu dengan alam. Pasir putih, ombak yang sedang dengan garis pantai yang cukup panjang, itulah santolo. Alam garut memang patut dibanggakan, tak heran dulu sempat berjuluk "swiss tanah jawa" dengan kontur tengah kotanya yang berjejer gunung. Serta tak mengherankan pula ada yang menyebut santolo sebagai "kuta ala jawa barat". Ya, santolo memang lebih terkenal dibanding pantai-pantai yang ada di Garut selatan lainnya, mungkin karena berbagai faktor, seperti akses jalan yang baik dan tentunya kontur pantai yang berpasir putih.
Sore mulai menggelayut, terik mulai mereda, keceriaan masih terasa, bercemgkrama dengan kawan dan alam, mensyukuri dan merenungi semesta yang luas ciptaan karya sang "Pencipta". Sebelum senja beranjak, seusai mengisi perut yang meronta perjalanan kembali berlanjut untuk menuju destinasi terakhir yaitu Pantai "Sarang Burung Elang" (sayang heulang). Sebelum menuju Sayang Heulang, kami sempatkan diri untuk mandidan membeli ikan laut yang cukup segar dengan bau amisnya yang menyengat. Senja kala mulai menyeruak, panorama matahari tenggelam tak begitu kentara kami nikmati, awan kelabu menutupi sang surya yang malu menampakan diri. Santolo dan Sayang Heulang merupakan pantai yang bersebelahan yang dibatasi oleh sebuah muara dan pelabuhan kecil.
Sayang Heulang
Sebelum maghrib berkumandang, akhirnya kamipun telah sampai di sisi Pantai Sayang Heulang dan mulai membuka bivoac dan tenda. Ombak yang besar sungguh terasa di sini, dibanding Santolo, pantainya pun percampiuran antara pasir dan karang. Malam mulai datang, saatnya sesi memasak ceria, dengan menu utama ikan bakar yang dalam waktu beberapa menit langsung tinggal tulangnya. Malam semakin malam, satu persatu mulai memasuki alam tidurnya dan mimpinya masing-masing.
sunrise di sayang heulang |
Akhirnya pagi datang, dan saya pun berkesempatan menikmati matahari terbit yang tak malu menampakkan diri. Pantai sayang heulang mulai terlihat keanggunannya, garis pantai yang sangat panjang dengan kontur yang bervariasi. Seusai makan pagi dengan menu spesial yaitu kepala kakap bumbu santan perjalanan masih panjang, dan di hari minggu itu adalah hari terakhir kami menyusuri secuil ombak selatan garut. Di sayang heulang sebenarnya kita tidak usah takut untuk bermalam dan kelaparan, karena sangat banyak warung serta penginapan yang berdiri dengan variasi harga yang berbeda-beda tentunya. Penyusuran di hari terakhir ini sepertinya menjadi yang terlengkap, karang yang menyembul berbukit dan pasir putih.
Sekitar pukul 10.00, kami putuskan untuk berbelok dan menjauh dari garis pantai dan mecari jalan utama, karena pertimbangan hari yang mulai siang dan ujung pantai sayang heulang yang sepertinya masih cukup jauh. Di sebuah semak yang sepi kami berbelok dan akhirnya kami menemui jalan setapak dan keluar dijalan tanah. Selanjutnya perjalanan menyusuri jalan berbatu di tengah sawah. Sebelum adzan berkumandang kami sempatkan beristirahat di sebuah masjid dan setelahnya melanjutkan perjalanan pulang. Setelah bertanya pada warga akhirnya kami keluar di jalan utama Pameungpeuk. Perjalanan 2,5 hari itu pun berakhir.
Terima kasih
tags : susur pantai garut selatan, susur pantai garut, santolo, rancabuaya, sayang heulang, satubumikita, garut selatan, bandung-santolo, trek penelusuran pantai garut
mangstab susur pantei ..hehe
BalasHapusnuhun :D
Hapushalo kang, wah menarik sekali liat-liat blognya euy. boleh kalo ikut gabung jalan2 ya :)
Hapusboleh kang, bebas, kalo mau gabung silahkan add blog komunitas satubumikita.blogspot.com atau fb/twitternya untuk kegiatan2 selanjutnya. :)
Hapusmksh.
sudah dua kali saya ke tiga pantai itu, berkemah di santolo dan ranca buaya. tapi yang paling lenggang ya sayang heulang. keren!
BalasHapus:))
Hapus