Entahlah sekarang
saya sedang suka mengulak-ngulik jalur kereta api dengan bantuan internet khususnya
yang berada di daerah operasi Bandung dan sekitarnya, walaupun entah kapan saya
bisa menjelajah seluruh jalur-jalur tersebut.
Beberapa waktu yang lalu saya sempat mencoba jalur Bandung - Purawakarta dengan menggunakan kereta api ekonomi Cibatuan yang rencananya akan dilanjutkan menuju Jakarta kota dengan kereta ekonomi Patas PWK (biasa disebut juga odong-odong). Walaupun sedikit sial karena kereta Cibatuan yang saya tumpangi mogok 1 jam lebih di Stasiun Bandung dan otomatis kereta patas ekonomi dari Purwakarta menuju Jakarta telah berangkat dan terpaksa melanjutkan perjalanan dengan bis. Jalur kereta tersebut bisa dikatakan jalur klasik peninggalan Belanda, walaupun mungkin sekarang orang lebih memilih berkereta menggunakan kereta Argo Parahyangan yang langsung menuju Jakarta (Stasiun Gambir) selain praktis juga nyaman walau ongkosnya jauh lebih mahal dibanding ngeteng 2 kali naik kereta via Purwakarta.
Beberapa waktu yang lalu saya sempat mencoba jalur Bandung - Purawakarta dengan menggunakan kereta api ekonomi Cibatuan yang rencananya akan dilanjutkan menuju Jakarta kota dengan kereta ekonomi Patas PWK (biasa disebut juga odong-odong). Walaupun sedikit sial karena kereta Cibatuan yang saya tumpangi mogok 1 jam lebih di Stasiun Bandung dan otomatis kereta patas ekonomi dari Purwakarta menuju Jakarta telah berangkat dan terpaksa melanjutkan perjalanan dengan bis. Jalur kereta tersebut bisa dikatakan jalur klasik peninggalan Belanda, walaupun mungkin sekarang orang lebih memilih berkereta menggunakan kereta Argo Parahyangan yang langsung menuju Jakarta (Stasiun Gambir) selain praktis juga nyaman walau ongkosnya jauh lebih mahal dibanding ngeteng 2 kali naik kereta via Purwakarta.
***
Dahulu, hubungan
Bandoeng dengan Batavia (Jakarta) makin singkat dengan dibangunnya jalur kereta
api lewat Cikampek. Lintasan ini terdiri dari jalur Batavia–Purwakarta yang
mempunyai panjang lintasan sekitar 102 km, lalu jalur pegunungan dari Purwakarta–Padalarang
dengan lintasan kurang lebih 56 km dan terakhir jalur Padalarang-Bandung dengan
lintasan sekitar 17 km. Seperti yang kita ketahui, jalur tersebut harus melalui
daerah dengan kontur pegunungan, sungai dan lembah. Maka bisa dikatakan tingkat
kesulitan pembangunannya pun jauh lebih tinggi, sehigga konon memakan korban
jiwa manusia yang tidak sedikit.
Selain itu
dilintasan ini kita akan melintasi terowongan Sasaksaat yang cukup panjang. Jalur
pegunungan Purwakarta-Padalarang memang melintasi medan yang tidak mudah berupa
sungai dan lembah/ngarai. Jembatan Cisomang menghubungkan Stasiun Cikadongdong
dengan Darangdan yang mempunyai ketinggian sekitar 100 meter sehingga merupakan
jembatan tertinggi diantara yang lainnya. Selain jembatan Cisomang, terdapat
pula jembatan Cikubang dan Cibisoro yang tingginya mencapai 40-50 meter dari
dasar ngarai. Untuk jembatan Cikubang panjangnya mencapai 300 meter dan
merupakan jembatan kereta api terpanjang di Pulau Jawa. Sedang jembatan
Cibisoro yang menghubungkan Cilame dan Sasaksaat panjangnya 290 meter. Nah,
bisa dibayangkan betapa rumitnya membangun jembatan-jemabatan kereta tersebut
di antara kontur yang cukup sulit padahal mungkin teknologinya belum se-modern
sekarang.
Jalur utama kereta
api Batavia – Bandoeng (PP) lewat Cikampek diresmikan tanggal 2 mei 1906.
Sebelum jalur tersebut di buka, sebenarnya sudah ada jalur lain
Batavia-Bandoeng (PP) tapi via Sukabumi yang memakan waktu sekitar 6 jam,
sedang bila lewat Cikampek bisa lebih singkat. Bahkan sampai pada tahun 1941
jalur lewat Cikampek tersebut bisa ditempuh hanya 2 jam 45 menit. Saat itu,
operasi kereta tersebut dijuluki De
Vlugge vier atau empat cepat, yang bisa diartikan empat kereta api cepat
yang beroperasi dalam satu hari, dua dari Batavia dan dua dari Bandoeng. Jalur
klasik yang usianya sudah lebih dari seabad tersebut sampai sekarang masih
bertahan dan sangat bermanfaat, terlebih dengan adanya kereta Argo Parahyangan
yang semakin memudahkan para penumpang.
Bagaimana, tertarik
mencoba jalur klasik kereta api Bandoeng-Batavia atau sebaliknya?
Catatan:
Sumber keterangan dan
data seluruhnya disarikan dari Buku “Jendela Bandung, Pengalaman Bersama
Kompas” karya Her Suganda, cetakan kedua tahun 2008, penerbit Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak anda.
Terima kasih sudah berkomentar