Rabu, 29 Agustus 2012

Ngaleut Pecinan, Sisi Lain Kota Bandung

Karena akun para blogger di Multiply (Mp) bakal di gusur 1 Desember nanti, jadi sebelum lenyap saya pindahin sedikit-sedikit tulisan dari akun Mp (opakopik.mulitply.com) ke blog ini. :)

Bandung, 04 April 2010

Vihara satya budhi
Bila setiap akhir pekan Bandung banyak diserbu pelancong khususnya dari Jakarta yang hanya sekedar berlibur ataupun belanja pakaian dan wisata kuliner di titik-titik keramaian kota Bandung. Titik-tiik tersebut seperti di daerah jalan setiabudhi, cihampelas, dago, riau dll yang menjadikan Bandung semakin semarak, macet dan itulah salah satu wajah lain kota Bandung di akhir pekan.

Hunting pakaian di Fo-Fo atau di distro atau hunting makanan enak di Bandung mungkin sudah biasa, tapi bagaimana kalau hunting tempat-tempat bersejarah, ehmm..itu bisa dikatakan amazing ,,hehe.


Seperti yang dilakukan komunitas aleut! mengapresiasi sejarah dengan cara yang berbeda dan menyenangkan. Dan bila di hari minggu, di salah satu sudut kota Bandung ada sekelompok anak muda yang bergerombol dan ada orang yang sedang menjelaskan sesuatu tempat yang ada di sekitarnya dan di antaranya mendengar penjelasan dengan seksama bahkan ada yang membawa dan menulis catatan kecil, serta banyak yang membawa kamera sembari memotret objek yang dilewati. Nah bisa jadi itu adalah komunitas aleut maka jangan sungkan tuk ikut bergabung, dan jangan pula malu tuk bertanya, “Akang, teteh ieu teh komunitas aleut sanes ? ”

Ngaleut kali ini adalah ke daerah pecinan (china town). Di setiap kota besar di  Indonesia bahkan di dunia pasti memiliki sebuah kawasan yang disebut pecinan. Pecinan di kota Bandung berbeda dengan pecinan yang ada di kota besar lainnya di Indonesia karena pecinan di Bandung tidak memiliki gerbang atau batas pemisah wilayah dengan daerah di sekelilingnya.

Banceuy
Pagi itu para pegiat aleut yang ikut berjumlah sekitar 30 orang telah berkumpul distart awal di depan Gedung Merdeka. Tempat pertama yang dikunjungi berada di jalan banceuy depan halte bus damri. Tempat tersebut dahulu merupakan sebuah banceuy (istal/ kandang/ tempat istirahat kuda) yang sekarang menjadi tempat parkir bank mandiri.

Dari situ kami berjalan melewati kantor pos besar Bandung yang dahulu berupa bangunan kecil yang dibangun sekitar tahun 1863 dan bersebelahan dengan rumah sakit kecil yang merupakan cikal bakal dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung sekarang.

De zon NV dan Jalan Alkateri
Di dekat kantor pos besar Bandung terdapat pula sebuah bangunan yang sekarang menjual pakaian bekas (cimol). Bangunan tersebut bernama De zon NV, bangunan tersebut dibangun sekitar tahun 1920-an. De zon sendiri diambil dari bahasa belanda yang berarti matahari seperti lambang yang berada di tembok luar De zon.
Di dekat de zon terdapat sebuah jalan yang bernama jalan alkateri yang diambil dari nama keluarga arab yaitu alkatiri. Jalan tersebut dahulu pernah menjadi tempat jual beli opium di Bandung. Jalan alkateri pun termasuk ke dalam daerah pecinan, bangunan-bangunan tua masih ada yang berdiri kokoh di antara ruko-ruko modern di sana. Ada pula tempat yang bila hari biasa menjual barang barang antik. Saat melintas saya melihat aktivitas seorang nenek berwajah oriental yang sedang moyan alias berjemur di depan ruko sambil membaca Koran import dengan tulisan china, yang saya ga ngerti.

Dahulu bangunan dikawasan pecinan (ditempat lain pun mungkin ada) memilki sebuah space kecil atau gang di pinggir kiri atau kanan bangunan tersebut yang berfungsi sebagai tempat untuk menyelamatkan diri ke kampung/daerah dibelakangnya apabila terjadi kebakaran dibangunan/daerah tersebut, nah space atau gang kecil tersebut biasa disebut Branha (kalo ga salah nulis..he).

Kopi Aroma
Dari jalan alkateri kami melewati jalan abc yang berjejer toko-toko elektonik. Sudah sejak lama jalan tersebut menjadi pusat barang-barang elektonik di Bandung. Lalu kami masuk kembali kejalan Banceuy, jalan Banceuy selain berjejer toko toko yang menjual sparepart atau aksesoris mobil ada pula sebuah toko yang menjual kopi dan sudah sangat terkenal yaitu kopi aroma. Kopi yang dijual dari toko tersebut memang sangat berkualitas karena proses penyimpanan kopi yang memakan waktu sangat lama yakni sekitar 3-5tahun. Kopi yang dijual di sana seperti kopi jenis arabica, robusata dll. Penyangraian biji kopi nya pun masih menggunakan bahan bakar berupa kayu dari pohon karet. Mesin yang dipakai pun sudah sangat tua, bahkan si pabrik pembuat mesin tersebut sudah tidak memproduksi mesin tersebut dan sudah tutup. Sempat pula si pabrik menawar tuk membeli kembali mesin pengolahan kopi tersebut.

Pasar Baru
Dari sana kami menuju kawasan pasar baru yang bisa dikatakan sebagai pusat/ awal mula dari pecinan yang ada di Bandung. Di sekitar pasar baru masih banyak terdapat bangunan bangunan tua yang masih kokoh berdiri dengan gaya bangunan yang khas tionghoa/ china dan berbaur dengan para PKL yang berjualan di depannya. Banyak bangunan di sana menggunakan ornamen yang dipasang di atap seperti; naga atau tanggal/ tahun pembuatan bangunan tersebut. Kebanyakan dari pemilik toko itu adalah orang yang berwajah oriental. Karena di Indonesia mungkin warga keturunan tersebut identik dengan orang yang pandai berniaga atau orang yang memiliki sebuah toko.

Di belakang pasar baru terdapat penjual goyobod kuno 1949, tapi apakah goyobod tersebut rasanya masih sama seperti dulu.? Setelah mencicipi goyobod kuno, perjalanan pun dimulai kembali. Kami seperti diajak ke masa silam menyusuri pecinan Bandung tempo dulu. Bila membayangkan dulu mungkin kawasan ini belum seramai sekarang dan para warga keturunannya pun masih menggunakan pakaian adat khas china. Tak lama berjalan kami berhenti kembali di depan toko cakue osin yang katanya cukup terkenal, tapi saya kok ga pernah denger ya..!! :p

Cakue pun adalah salah satu panganan yang berasal dari china yang sudah pula menjadi jajanan yang tak asing di lidah orang Indonesia. Untunglah ada pegiat yang dermawan berbagi cakue kepada saya..hehe. Cakue tersebut ukurannya cukup besar dibanding cakue biasa dan lebih gurih dan saya pun berkesempatan mencicipi panganan khas lainnya yaitu bubur kacang tanah yang lembut dan rasanya sedikit aneh di lidah saya, dan sangat cocok untuk manula dan orang yang sedang sakit. Di daerah sana pun dahulu terdapat pula sebuah bioskop "jadul".

Hotel Surabaya
Terik matahari cukup menyengat di siang itu. Tapi tak menyurutkan semangat kami tuk lebih tau tentang pecinan Bandung yang telah dijelaskan panjang lebar oleh Bang Ridwan alias BR (sapaan akrab dari pegiat aleut). Kami pun berjalan bergerombol dengan candaan dan perilaku-perilaku yang sedikit aneh dari beberapa pegiat. Kami pun sampai di daerah Kebon Jati di sana masih terdapat sebuah bangunan yang merupakan salah satu hotel perintis (pertama) di kota bandung yaitu hotel Surabaya. Bangunan tersebut umurnya sudah cukup tua, yang dibangun sekitar tahun 1884. Sekarang hotel tersebut sedang diperluas dengan menambah bangunan baru. Kami pun dilarang masuk oleh petugas proyek dan hanya bisa “noong” dari gerbang proyek yang terbuat dari seng.

Saritem
Dan ada sedikit yang khas dari kawasan tersebut yakni ketinggian permukaan jalan dan permukaan lantai rumah yang berada di pinggir jalan tidak rata, lantai rumah/ bangunan berada di bawah beberapa cm dari permukaan jalan. Perjalanan dilanjutkan menuju daerah saritem yang legendaris. Lokalisasi psk yang sangat terkenal ke seantero Bandung Raya dan untuk pertama kalinya saya menginjakan kaki di saritem. Memang secara tertulis kawasan tersebut sudah ditutup paksa oleh pemkot sebagai lokalisasi tapi tetap saja para psk tak ada pilihan pekerjaan lain, dan itulah hidup.

Vihara satya Budhi (Xie Tian Gong)
Setelah melewati “dunia lain” tersebut, kami memasuki gang-gang kecil yang di kiri-kanannya masih terdapat rumah-rumah khas etnik tionghoa. Tak jauh kami berjalan sampailah kami di depan gapura dan gerbang yang cukup besar, di dalamnya tedapat komplek vihara yang berada di jalan kelenteng. Bangunannya yang sangat khas dengan didominasi warna merah serta berbagai ornamen etnik tionghoa berupa naga, patung dewa dan tulisan-tulisan china dll. Asap dupa, lilin dan hio mengepul dan membuat suasana sedikit lain. Saat itu suasana di sana cukup ramai dengan orang yang sedang bersembahyang di vihara.


Dan itu menjadi titik perhentian ngaleut menyusuri kawasan pecinan. Itu mungkin adalah sedikit potret lain dari wajah kota Bandung tercinta ini selain dari bangunan-bangunan peninggalan kolonial. Perjalanan tadi cukup berkesan bagi saya selain bisa tahu peninggalan-peninggalan di kawasan pecinan serta lebih menghargai perbedaan budaya sosial.

Sambil membentuk lingkaran diteras vihara ritual terakhir ngaleut pun dimulai yaitu sharing perjalanan kesan dan pesan sepanjang ngaleut tadi.

Foto : Komunitas Aleut!

Terima kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak anda.

Terima kasih sudah berkomentar