Rabu, 14 Maret 2012

Trekking Jayagiri - Gn.Putri (Benteng Belanda) - Gn.Tangkubanparahu

Minggu tanggal 11 Maret 2012 kemarin, saya dan beberapa teman berkesempatan trekking dan berpetualang ke daerah sekitar Lembang yaitu Taman Junghuhn - Hutan Jayagiri - Gunung Putri  (Benteng Belanda) dan Gunung Tangkubanparahu.

Starting point kami mulai dari sekitar Terminal Ledeng, Bandung di pagi hari yang dingin dan sedikit gerimis membasahi bumi menemani kami hari itu. Dari Terminal Ledeng kami bertolak menuju Lembang tepatnya Jayagiri dengan naik angkot berwarna krem jurusan St.Hall - Lembang. Tak lama berselang kami pun sampai di jalan Desa Jayagiri yang cukup ramai dihari itu dengan jalannya yang menanjak dan udara Lembang yang dingin.


Taman Junghuhn

Tugu berbentuk obeliks, di atas makam Junghuhn

Jughuhn, Foto : wikipedia.org
Objek pertama yang kami kunjungi adalah Taman Junghuhn yang berada di sebuah jalan kecil menjorok dari Jalan Jayagiri tepatnya di tengah pemukiman warga. Taman tersebut adalah sebuah makam yang didedikasikan untuk mengenang jasa Junghuhn sebagai peneliti, geolog, vulkanolog dan botanik.  Junghuhn juga menyusun sejumlah herbarium, singkatan ilmiahnya adalah Jungh. Dikenal pada upaya-upayanya untuk membina pemeliharaan pohon-pohon kina untuk menghasilkan obat kinine (malaria). Junghuhn bernama asli Dr. Franz Wilhelm Junghuhn kelahiran Mansfeld-Prusia, berkebangsaan Jerman pada tahun 1820 dan meninggal di Lembang pada 24 April 1864. 


Setelah dari Taman Junghuhn yang kurang terawat dengan baik, perjalanan pun berlanjut menuju kawasan Hutan Wisata Jayagiri. Untuk bisa masuk kawasan hutan para pengunjung diwajibkan membeli tiket/karcis seharga Rp.4000. Kawasan hutan Jayagiri sendiri dikelola oleh Perum Perhutani, kawasan tersebut biasa ramai saat hari libur atau akhir pekan oleh orang-orang yang trekking/hiking sambil menikmati kesegaran udara pegunungan. Hutan Jayagiri kebanyakan didominasi oleh pohon pinus serta tanaman kopi yang dibudidayakan.

Setelah berjalan cukup menanjak di jalan tanah merah yang cukup menguras keringat, kami pun sampai di sebuah persimpangan jalan dan terdapat pula beberapa buah warung peristirahatan. Persimpangan jalan tersebut masing-masing arah menuju tempat yang berbeda. Bila kita memilih arah kiri (barat) maka kita akan menuju daaerah Sukawana, bila kita memilih jalan lurus (Utara) maka akan menuju Gunung Tangkubanparahu sedangkan bila memilih jalan yang ke kanan (Timur) maka kita akan menuju daerah Gunung Putri (Benteng Belanda) dan Cikole. Sejenak kami bersitirahat sambil mengisi perut dan membeli bekal makan siang untuk nanti Botram di Puncak Gunung Putri.

Benteng Belanda di Puncak Gunung Putri
Di atas Benteng Belanda


Setelah dirasa cukup beristirahat, petualangan kembali berlanjut. Dari warung, kami berjalan menuju arah ke Benteng Gunung Putri. Jalan tanah bekas mobil offroad (Jeep) dan motorcross sangat membekas di sepanjang jalan yang kami lalui hingga  membuat bekas yang cukup dalam. Kami berjalan beriringan ditemani mentari yang mulai meninggi dan menghangat serta pinus-pinus yang melambai-lambai tertiup angin.

Setelah berjalan cukup lama dan sedikit berputar-putar di jalan yang cukup membingungkan karena banyaknya persimpangan, akhirnya sampailah kami di sebuah bukit kecil yang kami tuju yang biasa disebut Gunung Putri. Di puncak bukit tersebut terdapat sebuah Benteng peninggalan Belanda yang kondisinya sekarang terbengkalai dan tertutupi ilalang serta tanah. Benteng tersebut biasa disebut dengan Benteng Gunung Putri ataupun Benteng Jayagiri, ukuran bentengnya bisa dikatakan cukup besar dan luas ditambah konstruksi bangunan yang sangat kokoh. Bagian atas benteng tersebut telah tertutupi oleh timbunan tanah, ditumbuhi ilalang dan semak belukar. Kondisi benteng tersebut bisa dikatakan 70-80 % masih utuh, tapi karena tak ada perhatian dari pemerintah terhadap situs bersejarah tersebut banyak besi-besi rangka beton yang dijarah dengan kondisi yang cukup memprihatinkan.

Saya tak bisa memastikan bentuk bentengnya seperti apa, dikarenakan banyak bagian atas benteng yang tertimbun tanah. Bagian dalam benteng banyak terdapat ruangan dan cerobong yang sepertinya berfungsi sebagai fentilasi udara. Benteng ini dibangun sekitar tahun 1913-1917, pada masa Perang Dunia I. Adapun dilihat dari fisik benteng ini bisa jadi difungsikan sebagai tempat penyimpanan persenjataan dan perlengkapan perang.

Setelah puas melihat-lihat dan menerawang dan membayangkan masa silam tentang Benteng ini, perut kami mulai berbunyi dan kami mulai membuka bekal yang kami beli di warung tadi. Sambil menikmati panorama alam yang indah  di sekililing bukit kami pun lahap menyantap makan siang yang seadanya tapi nikmat, Allhamdulillah.

Legenda Sangkuriang & Gunung Putri
Gunung Putri selain menyimpan objek sejarah, terdapat pula sebuah legenda yang menyelimuti keberadaan bukit kecil tersebut. Bila kita pernah mendengar Legenda Sangkuriang - Dayang Sumbi, maka keberadaan Gunung Putri ada sangkut pautnya dengan sasakala tersebut. Gunung Putri dalam sasakala Sangkuriang dikisahkan sebagai tempat bersembunyinya atau larinya Dayang Sumbi saat dikejar-kejar oleh anaknya sendiri, sangkuriang, karena ngotot ingin menikahi ibunya sendiri. Selain Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Putri ada pula Gunung yang berkaitan dengan cerita Sangkuriang tersebut seperti : Gunung Burangrang yang konon terbentuk dari rangrang/ranting pohon bekas membuat perahu dan Gunung Bukittunggul yang menurut cerita bekas tunggul pohon untuk membuat perahu oleh Sangkuriang.

Gunung Tangkubanparahu
Tangkubanparahu, dilihat dari Gn.Putri

Setelah cukup puas berada di Benteng Belanda, perjalanan berlanjut kembali. Kali ini kami melangkahkan kaki menuju arah Gunung Tangkubanparahu yang gagah berada dihadapan. Kami memilih jalan memotong dan membuka jalan serta menrobos hutan serta semak belukar yang sangat rimbun. Setelah berjalan  dan  menyususr hutan cukup lama, sampailah kami di jalan beraspal yang menuju kawasan wisata Tangkubanparahu tepatnya jalan pintu 1 (pintu masuk dari arah Cikole). Jalan yang menanjak harus kami  lalui dan tentunya cukup membuat ngos-ngosan, jalan tersebut memang bukan jalan utama menuju Tangkubanparahu karena jarang yang melaluinya. Jalan utama sendiri berada diperbatasan antara Lembang & Subang.

Akses jalan yang seperti sekarang kita rasakan menuju Gn. Tangkubanparahu, tak terlepas dari jasa sebuah perkumpulan warga Belanda terhadap wisata kota Bandung, yaitu Bandung vooruit. Pada sekitar tahun 1928 Bandung Vooruit membangun jalan aspal hingga mencapai kawah utama Tangkubanparahu (Kawah ratu) hingga menjadikan kawah ratu sebagai kawah yang dapat dicapai dengan kendaraan (motor, mobil, bus dll). Jalan masuk Tangkubanparahu sepanjang 4km yang dimulai dari ruas lembang-Subang ini kemudian dinamakan Hooglandweg sebagai penghargaan kepada ketua Bandoeng Vooruit, W.H. Hoogland. Sejak itu pulalah gunung ini mulai menjadi salah satu destinasi andalan wisata daerah Bandung hingga sekarang.

Jalur yang kami lalui bisa dikatakan cukup ekstrim seperti dalam film-film perang gerilya, sampai-sampai saya sendiri dan seorang teman tersungkur dan terjerambab di sebuah mata air kecil di tengah hutan. Setelah berjuang dan berjibaku, dengan semangat 45 akhirnya kami sampai di kawasan parkir bus Tangkubanparahu. Kami memutuskan untuk tidak masuk ke objek kawah di puncak Tangkubanparahu dan berbalik arah kembali masuk hutan untuk kembali ke Jayagiri.

***

Bibliografi :

Brahmantyo,B., & T.Bachtiar, 2009, Wisata Bumi Cekungan Bandung, Truedee Pustaka Sejati, Bandung.
  
Hutagalung, R., 2008, Menengok Benteng Belanda di Cipada, Pikiran Rakyat 25 Oktober 2008.

Sudarsono, Katam., 2006, Bandung Kilas Peristiwa di mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah, PT.Kiblat Buku Utama, Bandung.

Suganda, Her, 2008, Jendela Bandung Pengalaman bersama Kompas, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.


***

Semoga bermanfaat, tetap menjelajah, membaca, menulis & mari jaga bumi kita agar tetap lestari.

2 komentar:

Silahkan tinggalkan jejak anda.

Terima kasih sudah berkomentar