Rabu, 12 Juni 2013

Gede Yang Ramai

Langkah-langkah kaki, berayun, menapaki sejengkal demi sejengkal tanah berpasir. Tak lama hujan sedikit mereda dan kemudian membesar mencurahkan buliran air menghujam bumi.

Asap mengepul tenang, membungbung tinggi di tengah kawah yang menganga. Ramai orang berjejalan, berteduh, beriringan, melangkah, kebasahan, kedinginan letih.

Kumpulan cantigi membisu, bergoyang tertiup angin tersaput halimun senja. Sang bunga abadi terpaku terdiam bersama remang cahaya terhalang mega. Gulita mulai menyeruak di tengah lembah riuh kumpulan anak manusia.

Entah apa yang mereka dan aku cari di sana?
Beribu jawaban yang mungkin klise bisa jadi terlontar dari mulut yang kelu.

Hari mulai bergulir kembali, beriring doa terpanjat pada sang Pencipta semesta.  Langkah kecil adalah awal bersama pagi yang menyambut segar. Berjalan diantara rindangnya pepohonan serta hijaunya hutan di kejauhan pelupuk mata. Gontai langkah bersama kawan di alam, mencoba sedikit menemukan arti dari secuil sisi diri kita sebagai manusia, manusia yang kecil tapi kadang begitu angkuh dan sombong. Mencoba untuk mencintai tanah dan air yang luas terbentang seolah tak berujung.

ilustrasi : Dephut.go.id


Ber-12 kami berjalan beriringan, pagi yang ramai untuk sebuah suasana di kawasan gunung. Mungkin tidak begitu mengherankan, kawasan gunung yang satu ini memang selalu ramai setiap di buka untuk periode pendakian, dan mencapai klimaks kuota pendaki menjelang akhir pekan dan tanggal merah. Tujuan saya bersama kawan-kawan satubumikita di perjalanan kali ini adalah mendaki Gunung Gede, yang termasuk ke dalam kawasan Taman nasonal Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Kami memulai perjalanan dari titik awal di pintu Cibodas, Cianjur yang juga merupakan kawasan wisata air terjun Cibeureum yang berada di kaki Gunung Gede dan Pangrango. Sebenarnya ada 3 jalur masuk (resmi) yang ditetapkan oleh pihak TNGGP selain Cibodas yaitu Gunung Putri dan Salabintana. Selain itu kuota resmi pendaki pun dibatasi hanya 600 dengan kuota urutan masing-masing 300 orang (cibodas), 200 orang (gunung putri), 100 orang (Salabintana). Untuk waktu pendakian dalam kawasan Taman Nasional hanya di beri ijin resmi selama 2 hari 1 malam saja, maka pendakian yang memungkinkan hanya mendaki satu gunung, Gunung Gede atau Pangrango.

Jalur berbatu cadas adalah jalan pendakian yang akan kami lalui hampir 75 % perjalanan dari titik awal dan sisanya lagi adalah jalan setapak tanah serta jalur alami. Tak jauh dari titik awal pendakian kita akan menjumpai sebuah telaga kecil yang biasa disebut dengan Telaga Biru. Bisa jadi telaga tersebut berwarna biru karena efek pencahayaan dari tumbuhan berjenis alga yang tumbuh di dasar dan sekitar telaga.  Selepas telaga, kita akan melintasi sebuah rawa yang di atasnya telah diberi jembatan cor beton, yang dulunya jembatan tersebut terbuat dari kayu. Jembatan tersebut memilki panjang sekitar 500 meter dengan mengikuti alur rawa di bawahnya. Sesekali kami dan rombongan pendaki lain sengaja berdiam diri hanya untuk sekedar mengabadikan gambar dengan latar jembatan dan rimbunnya hutan di sekeliling.


Perjalanan masih awal dan untuk menuju titik tertinggi Gunung Gede masih sangat jauh, membutuhkan waktu berjam-jam untuk menggapainya. Seperti kehidupan, butuh pengorbanan  sekecil apapun itu untuk menggapai apa yang ingin kita tuju. Sang mentari mulai bersinar terik, kami pun tak terlalu ngoyo, kami lebih memilih menikmati perjalanan dan panorama sekitar yang cukup sayang hanya di lalui begitu saja. Pos demi pos pun dilalui dengan keceriaan, sampailah kami di sebuah persimpangan antara jalur pendakian dan jalur wisata curug (air terjun) cibeureum. Di setiap pos yang kami lalui cukup ramai oleh para pendaki atau wisatawan yang beritirahat meregangkan otot atau hanya sekedar menghela nafas sembari menikmati hutan hujan tropis yang termasuk dalam kawasan konservasi di Taman Nasional yang ditetapkan pada tahun 1980.


TNGGP sendiri menurut keterangan di laman www.gedepangrango.org memiliki  luas sekitar 22.851,03 hektar. Di dalam kawasan hutan TNGGP, dapat ditemukan “si pohon raksasa” Rasamala, “si pemburu serangga” atau kantong semar (Nephentes spp); berjenis-jenis anggrek hutan, dan bahkan ada beberapa jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur yang bercahaya. Disamping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing hutan, Macan tutul, Sigung, dll, serta 250 jenis burung. Kawasan ini juga merupakan habitat Owa Jawa, Surili dan Lutung dan Elang Jawa yang populasinya hampir mendekati punah.

***


Halimun mulai turun menyapa rimbunya pohon, pendakian masih cukup jauh, kewajiban untuk mengisi amunisi tenga tak bisa terelakkan lagi dan kegiatan masak-memasak pun di gelar. Salah satu hal yang menyenagkan berkegiatan di alam adalah masak memasak, seolah masak makanan apapun menjadi lebih berarti dan nikmat, kata kuncinya mungkin bersyukur. Makan sebelum siang pun di mulai, tenaga mulai terisi kembali dengan asupan mie instan rebus dan asupan kopi yang instan pula. Entahlah kenapa pendakian kali itu tenaga terasa cepat terkuras, tapi tidak begitu masalah karena kami mendaki dengan sangat santai perjalanan tak terasa begitu berat.  Ransel-ransel di punggung pendaki sepertinya saling menyapa dengan beban masing-masing yang berisi asupan standar pendakian. Alas-alas kaki menjejak meninggalkan bekas, kaki-kaki manusia bergelimpangan melangkah dengan jenis penutupnya, tak peduli mahal atau murah semua menyatu, tak peduli sandal jepit atau sepatu trekking merk import semua sama-rata sama-rasa menginjak bumi yang sama tanpa strata. 
Di kejauhan asap terlihat mengepul, bukan halimun, bukan asap kebakaran hutan, tapi uap air panas yang mengalir menjadi air terjun kecil. Batu-batu yang dialiri air panas terlihat menghijau mengkilat oleh proses alam yang panjang. Cahaya-cahaya kilatan kamera mencoba mengabadikan air yang di godok di dalam perut bumi yang jarang ditemui di perkotaan. Ahh, alam memang banyak memberi pelajaran dan keindahan. Terlihat pula sejumlah orang yang sengaja merendam kaki dan mandi untuk merasakan hangatnya air gunung yang bias jadi berkhasiat. Beberapa ratus langkah ke depan kembali kami pun menemui sebuah pos besar  yang di beri nama lebak saat atau Kandang Batu. Sejenak beristirahat perjalanan kembali berlanjut, pos terakhir yang akan kami lalui adalah kandang badak. Di pos kandang badak kembali memasak karena perut yang tak bias berkompromi lagi, kali ini masakan lebih komplit dengan menu oseng kangkung, seblak macaroni, dendeng dan nasi liwet.


Kandang Badak sendiri merupakan sebuah  tanah lapang di punggungan percabangan yang akan menuju puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Menurut berbagai informasi, kandang badak pernah menjadi habitat Badak, dan akibat letusan besar Gunung Gede badak yang berada di kawasan itu mati dan musnah akibat letusan. Selepas kandang badak yang sekarang lebih cocok di beri nama “kandang” pendaki perjalanan berlanjut, jalur batu yang ditata mulai berubah menjadi jalur tanah setapak yang sempit. Jalur yang harus dilalui selanjutnya bernama Tanjakan Rante atau nama hiperbolanya Tanjakan Setan. Tanjakan tersebut berupa bidang yang hampir tegak lurus, di jalur tersebut oleh pengelola TNGGP telah di sediakan tali tambang dan webbing untuk membantu memanjatan.




Vegetasi mulai berubah menjadi sekumpulan cantigi. Cantigi yang indah berselimut lamat-lamat halimun, dan akhirnya buliran air dari langit berjatuhan dengan deras. Rombongan mulai terpisah jauh, hujan deras mengguyur jalur di gigiran kawah Gunung Gede yang megah, asap sulfatara membumbung ke atas, mulai terlihat pula bunga lambang keabadian, edelweiss. Dan akhirnya kami pun sampai di titik tertinggi Gunung Gede yang memilki elevasi ketinggian sekitar 2.958 meter di atas permukaan laut. Gunung Gede selain sekarang terkenal di kalangan para pendaki, tercatat pula para ahli yang telah mendaki untuk berbagai keperluan dari berbagai disiplin ilmu. Pada tahun 1819, C.G.C. Reinwardt sebagai orang yang pertama yang mendaki Gunung Gede, kemudian disusul oleh F.W. Junghuhn (1839-1861), J.E. Teijsmann (1839), A.R. Wallace (1861), S.H. Koorders (1890), M. Treub (1891), W.M. Docters van Leeuwen (1911); dan C.G.G.J. van Steenis (1920-1952) telah membuat koleksi tumbuhan sebagai dasar penyusunan buku The Mountain Flora of Java yang diterbitkan tahun 1972.


***

Perjalanan dari puncak Gede, kami pun bergerak turun ke arah alun-alun suryakencana untuk bermalam. Alun-alun suryakencana merupakan sebuah dataran yang sangat luas yang diapit oleh Gunung Gede dan Gunung Gumuruh, dengan luasnya mencapai sekitar 50 hektar yang sebagiannya ditutupi hamparan bunga edelweiss. Menukil dari laman Wikipedia di alun-alun suryakencana terdapat sebuah legenda yang beredar di masyarakat setempat yaitu tentang keberadaan Eyang Suryakancana. Suryakancana adalah Putra dari Dalem Cikundul atau Rd. Aria Wira Tanu I, pendiri Cianjur dan bupati Pertama Cianjur, hasil dari pernikahannya dengan Putri Jin. Masyarakat percaya bahwa Eyang Suryakencana yang notabene nya adalah bangsa jin, masih bermukin di sekitar gunung Gede, dan menjadi penguasa bangsa jin di gunung tersebut. Pada saat tertentu, banyak orang khususnya penganut Agama Sunda Wiwitan masuk ke goa-goa sekitar Gunung Gede untuk semedhi / bertapa maupun melakukan upacara religius.


Malam kembali datang, hujan pun mulai reda, dan semua anggota rombongan sudah berkumpul semua. Tenda telah terpasang, purnama sempurna menaungi para anak manusia yang saling mencari apa yang di cari di Gunung. Dingin mulai merasuk sendi, tapi purnama masih setia menemani hingga dini hari.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak anda.

Terima kasih sudah berkomentar