Menggapai Puncak Tanah Jawa Bagian 1: KLIK DI SINI
Semburat Jingga di Pagi hari, Ranu Kumbolo |
Pagi yang segar dan cukup dingin
menyapa kami yang mulai terjaga dari tidur yang cukup lelap. Tubuh yang
lelah sepertinya membuat kami terlelap tidur dalam dekapan sleeping
bag yang hangat. Di hadapan tenda kami, terhampar Ranu Kumbolo, danau
yang sedari malam keindahannya tak dapat langsung kami nikmati. Suasana
Ranu Kumbolo saat itu tak begitu ramai, hanya ada 3 tenda selain kami
yang berada di sekitar kami. Seperti biasa, setelah mengumpulkan nyawa
yang tercecer, prosesi pagi yang mengasyikan dimulai yaitu,
masak-memasak. Seperti yang telah disebutkan di bagian 1, menurut saya
proses masak-memasak di alam bebas cukup menyenagkan dan membutuhkan
kreatifitas. Pagi itu, yang menjadi koki kita yaitu saudara Iwonk dan
Bung Gustaf, menu masakan yang dimasak adalah Sup sayur wortel, kentang,
kol dan beberapa tumisan serta makanan yang kami bawa sebelumnya. Makan
pagi yang nikmat di naungi langit biru di hadapan danau yang tenang, di
antara bukit-bukit kecil yang berjejer.
Seusai, makan pagi yang nikmat, tak afdol rasanya tak mengabadaikan
keindahan alam sekitar danau. Menurut beberapa sumber yang saya dapat,
Ranu Kumbolo terbentuk dari letusan Gunung Bajangan yang berada di
bawah Puncak Mahameru. Aliran lava dan material letusan membentuk
lembahan yang cukup besar sehingga membentuk danau.
Ranu Kumbolo
Prasasti, foto : kompasiana |
Di area Ranu Kumbolo terdapat satu prasasti yang diperkirakan
dikeluarkan pada zaman Kerajaan Kadiri. Prasasti tersebut berbunyi “Mpu Kameswara Tirtayasa”
yang menggunakan bahasa jawa kuno tengah masa Kadiri dengan tulisan
kuadrat. Letak prasasti tersebut menghadap ke Ranu Kumbolo dengan
tulisan membelakangi Danau. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Kameswara
atau raja Bameswara yang merupakan raja kerajaan Khadiri. Prasasti
tersebut berfungsi sebagai tanda fungsi danau sebagai air suci, bukan
menghadap ke Puncak Mahameru. Terdapat enam prasasti yang dikeluarkan
oleh Raja Bamsewara dan telah diartikan yaitu prasasti Padlegan 1038
Saka (1117 Masehi), prasasi panumbang tahun 1042 Saka (1120 Masehi),
prasasti Geneng tahun 1050 Saka (1128 Masehi), Prasasti Candi Tuban
tahun 1051 Saka (1124 Masehi) dan prasasti Tangkiln tahun 1025 Saka
(1130 Masehi). Seluruh prasasti masa Raja Bameswara tersebut dapat
dilihat masa berkuasanya Raja Bameswara sekitar tahun 1117 Masehi-1130
Masehi. Sehingga dapat diperkirakan prasasti Ranu Kumbolo dikeluarkan
sekitar tahun tersebut.
Menurut beberapa pendapat mengatakan bahwa fungsi dari Ranu Kumbolo
adalah sebagai tempat bersemedi bagi Raja Bameswara. Keberadaan danau
Ranu Kumbolo yang merupakan tempat mandi para dewa, dijadikan sebagai
air suci Gunung Semeru. Keterkaitan tersebut yang menjadi dasar
pendapat bahwa di Ranu Kumbolo dijadikan tempat semedi Raja Bameswara.
Prasasti Ranu Kumbolo merekam jejak Kerajaan Kadiri yang telah
melakukan perjalanan dan menandai daerah kekuasaannya jauh ke tanah
yang mempunyai ketinggian 2.426 mdpl. Rute perjalanan Raja Bameswara
dimulai melalui jalur lama, bukan melalui jalur pendakian Gunung Semeru
pada saat ini via Desa Ranu Pane. Namun perjalanan Raja Bameswara via
Desa Gubuk Klakah yang terdapat sebuah candi di desa tersebut sebagai
gerbang menuju tempat suci Gunung Semeru. [1]
Tanjakan Cinta
Setelah berkemas, perjalanan kembali berlanjut untuk menuju pos berkemah di Kalimati. Sebelum benar-benar memulai perjalanan, beberapa ransel dan barang-barang yang tidak digunakan saat pendakian (summit attack) kami titipkan kepada rekan dari jakarta yang memilih bermalam di Ranu Kumbolo. Trek di dean sudah menanti kami sebuah jalur menanjak di antara2 bukit. Konon, bila kita berjalan terus tanpa menoleh kebelakang dan sampai di tanjakan tersebut tapa berhenti maka cinta kita akan berakhir bahagia. Mitos tersebut menurut beberapa cerita yang menjadikan tanjakan tersebut diberi nama "Tanjakan Cinta" dikarenakan terdapat cerita yang beredar di kalangan pendaki yang menyebutkan bahwa ada tragedi yang melibatkan pasangan yang sedang jatuh cinta dan berakhir dengan kematian.
Setelah berkemas, perjalanan kembali berlanjut untuk menuju pos berkemah di Kalimati. Sebelum benar-benar memulai perjalanan, beberapa ransel dan barang-barang yang tidak digunakan saat pendakian (summit attack) kami titipkan kepada rekan dari jakarta yang memilih bermalam di Ranu Kumbolo. Trek di dean sudah menanti kami sebuah jalur menanjak di antara2 bukit. Konon, bila kita berjalan terus tanpa menoleh kebelakang dan sampai di tanjakan tersebut tapa berhenti maka cinta kita akan berakhir bahagia. Mitos tersebut menurut beberapa cerita yang menjadikan tanjakan tersebut diberi nama "Tanjakan Cinta" dikarenakan terdapat cerita yang beredar di kalangan pendaki yang menyebutkan bahwa ada tragedi yang melibatkan pasangan yang sedang jatuh cinta dan berakhir dengan kematian.
Menurut beberapa cerita
yang saya dapat, penamaan "Tanjakan Cinta" tersebut dikarenakan
terdapat mitos yang beredar di kalangan pendaki yang menyebutkan bahwa
ada tragedi yang melibatkan pasangan yang sedang jatuh cinta dan
berakhir dengan kematian. Konon, si pria melewati tanjakan tersebut
lebih dulu. Sementara si wanita kepayahan menaiki tanjakan itu, sedang
sang pria yang sudah sampai hanya melihat dari atas. Naas, pasangany a
tersebut ini tiba-tiba pingsan dan jatuh terguling ke bawah, kemudian
tewas. Ya, entahlah apakah cerita tersebut benar adanya atau hanya
isapan jempol. [2]. Untuk menuju titik henti di Kalimati dari Ranu Kumbolo kami harus berjalan dengan waktu tempuh sekitar 3 jam.
Tanjakan Cinta |
Oro-oro Ombo dan Cemoro Kandang
Selepas melewati tanjakan cinta, kami pun melewati
jalur yang biasa di sebut Oro-Oro Ombo. Oro-oro ombo adalah sebuah
padang savana yang cukup luas yang dikelilingi bukit-bukit nan indah.
Saat itu, kawasan oro-oro ombo yang dominan warna coklat, mungkin karena savana yang terbakar oleh sengatan matahari musim kemarau. Seusai melewati oro-oro ombo, vegetasi mulai berubah, kami mulai memasuki daerah yang biasa disebut dengan "Cemoro Kandang", sebuah vegetasi yang bayak ditumbuhi Pohon Cemara gunung. Jalur yang tadinya panas menyengat sekarang cukup sejuk karena tertutupi oleh pohon-pohon cemara yang memayungi.
Oro-oro Ombo |
Perjalanan menuju Kalimati ternyata cukup jauh, tapi jalur-jalur pendakian cukup jelas dan banyak rambu serta petunjuk jalan di sepanjang jalur yang kami lalui. Bagi pemula yang baru pertama mendaki Gunung Semeru, sepertinya tidak perlu khawatir soal tersesat di jalur, bila kita mematuhi rambu-rambu dan mengikuti jalur yang ada, bis dipastikan kita tidak akan tersesat. Panas terik yang sedari tadi menemani kini berubah menjadi rintik hujan, anomali cuaca yang cepat berubah di kawasan semeru membuat kami harus ekstra persiapan, kadang-kadang pans terik, beberapa detik kemudian bisa saja cuaca berubah drastis menajdi sangat dingin, hujan dan berkabut tebal. Kondisi fisik dan bekal makanan serta minum pun harus diperhatikan agar tidak kekurangan saat perjalanan.
Kalimati dan Sumber Mani
Setelah berjalan sekitar 2 jam, kami baru sampai di pos Jambangan, vegetasi mulai berubah kembali menjadi area tumbuhnya bunga Edelweis. Tak jauh dari kalimati, akhirnya kami pun sampai di Pos Kalimati yang berada diketinggian sekitar 2.700 Mdpl. Kabut tebal mulai turun dan cukup menyulitkan pandangan, karena jarak pandang cukup terbatas. Kabut tebal yang datang kadang secara tiba-tiba memang harus diwaspadai, karena bisa membuat salah jalur, dan untuk mengantisipasinya yaitu lebih baik kita berdiam sejenak di tempat menunggu kabut pergi.
Sore hari sekitar pukul 15.30, kami baru sampai Kalimati, di sana sudah banyak para pendaki yang menggelar tenda untuk summit attack menuju Mahameru di dini hari nanti. Saya agak sedikit berspekulasi dan menduga, kenapa kawasan tersebut dinamai kalimati, mungkin karena dikawasan tersebut dulunya ada sebuah kali (sungai) dan kemudian kering (mati), dan memang sebelum menuju pos kalimati terdapat sebuah jalur yang seperti sungai kering. Dan yang menjadi pertanyaan saya, apa penyebab sungai tersebut kering? Hmm.
Jalur menuju Sumber mani |
Sebelum mendaki menuju puncak (Mahameru), persiapan fisik dan logistik perbekalan harus dipersiapkan di kalimati. Untuk urusan air, pos kalimati merupakan pos terakhir adanya sumber air, itupun harus ditempuh dengan berjalan sekitar 20 menit. Sumber air tersebut diberi nama Sumber Mani, sebuah sumber air yang berasal dari rembesan air tanah dan pohon yang di alirkan melalui seng. Terdapat 2 sumber yang dialirkan, air tersebut sangat dingin seperti air es dan sangat menyagarkan. Untuk pengambilan air sendiri, menurut para pendaki yang sudah sering ke Semeru, jangan melewati dari pukul sekitar16.00, menurut kabar karena adanya binatang karnivora seperti macan yang keluar di kawasan tersebut.
***
Arcopodo, 2 arca di ketinggian Jalur Semeru
Kamis Dinihari, pukul 01:00. Perjalanan menuju puncak tanah Jawa yang sesungguhnya pun dimulai, bertolak dinihari dari Kalimati, kami bergegas berjalan beriringan dengan rombongan lainnya. Gelap, dingin dan angin kencang menyapa awal perjalanan kami, berteman senter dan headlamp kami berjalan menembus vegetasi hutan hujan yang lembab. Butuh sekitar 6 jam untuk sampai menuju sang Mahameru, di pertengahan jalan terdapat sebuah pos bernama Arcopodo atau Arcapadha.
Arcopodo dalam bahasa Jawa Kuno berarti Archa = arca dan Padha
= tempat, yang bisa disimpulkan sepasang arca dan tertinggi di Pulau Jawa yang terletak
pada ketinggian 3.002 Mdpl. Saat kami sampai di pos Arcopodo memang tak kami temui arca apapun, yang ada hanya sebidang tanah seluas lapangan badminton yang dikelilingi pohon cemara, semak dan jurang. Arca tersebut menurut sebuah tulisan di blog kompasiana dan publikasi Norman Edwin sekitar tahun 1984 keberadaan Arca tersebut memang ada. Masih mengutip keterangan dari Blog di Kompasiana, diduga salah satu arca merupakan arca Bima yang merupakan perwujudan Siwa
sebagai simbol penolak bala, dalam hal ini adalah untuk menolak amarah
Gunung Semeru. Sepasang arca ini tepat menghadap ke utara, sehingga
apabila kita menghadap ke arca tersebut pandangan kita juga akan tepat
mengarah ke Puncak Mahameru. Walaupun arca ini sulit diakses, masyarakat Hindu Tengger masih rutin bersembahyang di situs ini. [3]
Selepas beristirahat sejenak di Arcopodo, perjalanan dinihari kami lanjut kembali. Jalur yang sedari tadi berupa tanah padat kini berganti menjadi tanah lunak bekas aliran material dari Gunung Semeru. Bisa jadi jalur ini adalah klimaks dari jalur pendakian Semeru. Ya, jalur yang memiliki kemiringan yang cukup menyulitkan dan menguras energi di pagi buta. Kami harus cukup berjuang ekstra dibanding dengan jalur sebelumnya, selain tanah yang labil, batu-batu sisa erupsi patutnya diwaspadai. Jalur berpasir ini harus kita lalui untuk mencapai Puncak Mahameru. Udara di pagi buta yang dingin, dan hembusan angin kencang seolah menjadi teman perjalanan kami. Selepas berjalan sekitar 4 jam, langit mulai berwarna jingga, semburat sinar mentari mulai menyapa bumi dan para anak manusia. Indahnya batas horison jingga sedikit mengobati rasa lelah kami.
***
Legenda Gunung Semeru
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa yang ditulis pada kitab kuna Tantu Pagelaran yang berasal dari abad ke-15,
pada dahulu kala Pulau Jawa mengambang di lautan luas, terombang-ambing
dan senantiasa berguncang. Para Dewa memutuskan untuk memakukan Pulau
Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa.
Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa menggendong gunung itu dipunggungnya, sementara Dewa Brahma
menjelma menjadi ular panjang yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan
badan kura-kura sehingga gunung itu dapat diangkut dengan aman.
Dewa-Dewa tersebut meletakkan gunung itu di atas bagian pertama pulau
yang mereka temui, yaitu di bagian barat Pulau Jawa. Tetapi berat
gunung itu mengakibatkan ujung pulau bagian timur terangkat ke atas.
Kemudian mereka memindahkannya ke bagian timur pulau Jawa. Ketika gunung
Meru dibawa ke timur, serpihan gunung Meru yang tercecer menciptakan
jajaran pegunungan di pulau Jawa yang memanjang dari barat ke timur.
Akan tetapi ketika puncak Meru dipindahkan ke timur, pulau Jawa masih
tetap miring, sehingga para dewa memutuskan untuk memotong sebagian dari
gunung itu dan menempatkannya di bagian barat laut. Penggalan ini
membentuk Gunung Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung
Pananggungan, dan bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Dewa
Shiwa, sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru. [4]
***
Puncak Mahamareu,
Setelah berjuang sekitar 6 jam, akhirnya saya dan beberapa teman lainnya dapat pula menggapai Mahameru yang menjadi idaman para pegiat alam khususnya para pendaki. Ya, Mahameru menjadi tempat menghembuskan nafas terakhir seorang idola para petualang, Soe Hok Gie.
Puncak Mahameru sendiri berada di ketinggian sekitar 3.676 Mdpl, berupa tanah lapang seluas 2 kali ukuran lapangan voli. Disana tidak terdapat triangulasi hanya terdapat patok plat salah sau organisasi berbendera Merah putih serta beberapa plakat mengenang pendaki yang wafat di Puncak Mahameru. Gumpalan awan dan gunung sekeliling Semeru seperti pergunungan tengger dan Bromo dapat terlihat dengan cukup jelas bila cuaca sedang cerah dan bagus, udara serta angin memang sangat kencang berhembus yang membuat hidung saya cukup basah karena kelembaban yang cukup tinggi.
Kami pun tak boleh terlalu berlama-lama di puncak, selepas sekitar pukul 09.00 para pendaki sudah harus turun karena adanya tiupan angin yang membawa gas beracun menuju Mahameru. Keindahan di puncak tanah jawa terhampar luas, bagai singgasana para dewa.
Puncak bukanlah sebuah tujuan utama,
karena perjuangan menuju puncak tersebutlah yang cukup menarik dan penuh
dengan cerita serta pelajaran, puncak ibarat hanyalah sebuah bonus
pencapaian.
***
Catatan Kaki :
[1] http://sejarah.kompasiana.com/2012/09/07/jejak-kerajaan-khadiri-di-gunung-semeru/
[2] http://himpalaunas.com/artikel/jejak/2010/07/05/tanjakan-cinta-di-ranu-kumbolo-mitosnya-lahir-dari-tragedi
[3] http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/04/06/menyibak-misteri-arcopodo-gunung-semeru-452136.html
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Semeru
Bandung, 1 Desember 2012, 10:18
Terima kasih
-opik-
tags : bandung - gunung semeru, transport bandung semeru, hiking, event, trekking, pendakian gunung semeru dari bandung, catper mahameru, gunung semeru malang, lumajang, jurnal pendakian semeru, sejarah gunung semeru, ranu kumbolo, satubumikita, arcopodo, arcapada, sejarah tanjakan cinta
seru nih ceritanya dari dari yang kemarin bagian satu :)
BalasHapusmakasih
Hapusperjalanan yg sangat mengasyikan tentunya ya Kang?.
BalasHapussalam
iya begitulah kang kalo jlan2 rame2 :)
Hapusga ada matinya si akang yang satu ini, serius keren pisaaann udah nyampe mahameru, waaah...jadi inget novel 5 CM yang sekarang dah ada filmnya itu. jangan2 akang pemain 5 CM nih? hihihi :D
BalasHapushehe..biasa aja ah..ga punya tampang jd artis..gkgkgk
Hapusseru ceritanya + indah banget photonya :)
BalasHapusmakasih..hehe
Hapuskeren kang ceritanya :)
BalasHapusmasa?.. hehe.. mksh
HapusTernyata arcopo itu 2 arca..thanks for sharing.. setiap perjalanan harus liat sejarhnya juga kayanya biar ga sia-sia.. Trims :)
BalasHapus