Sabtu, 07 Desember 2013

Tanpa Judul



Mungkin kita pernah merasa bahwa kehidupan kita ini kadang sangat membosankan dibanding kehidupan orang lain. Atau sedikit hiperbolanya, kita pernah merasa bahwa derita kitalah yang paling edan dibanding derita orang lain di dunia ini. Ya, mungkin perasaan yang pernah kita alami itu sangat wajar, bahkan manusiawi sekali. Fase hidup tersebut mungkin pernah, sedang atau telah kita lalui, entah itu intensitasnya sedang atau sering. Fase merasa “paling menderita sedunia” seolah-olah bila ditelisik sangat hiperbola sekali, serta berlebihan dan bisa diartikan tidak mensyukuri nikmat atau pemberian Tuhan. 


Mungkin masalah yang kita hadapi cuman sebatas bagaimana susahnya mencari uang.  Atau contoh lainnya, masih bisakah kita dapat makan untuk hari ini dan esok atau tidak? Masalah dicontoh tersebut mungkin bisa jadi berat bagi sebagian orang, dan ringan oleh sebagian lainnya. Tapi dua contoh itu bisa jadi pula belum seberapa dibanding oleh orang lain yang ambil contoh saja sedang dalam situasi; apakah saya masih bisa hidup hari ini di tengah perang sedangkan perut saya sangat lapar belum makan beberapa hari? Atau situasi dalam keadaan bencana alam maha hebat.


Tapi bila dicermati secara dangkal oleh otak yang setengah berjalan ini, hal tersebut menjadi sangat relevan saat era dimana akhir zaman kian mendekat dan tweet sampah bertebaran dan menjadi trending topik yang membosankan. Ya, zaman dimana indivualistis yang edan dan kadang intoleransi yang cukup kentara diberbagai sendi kehidupan yang membuat derita kamu, ya derita kamu, derita saya ya derita saya.


Dan super sekali, dimana rupiah dengan digit sembilan nol berjejer dihambur-hamburkan begitu saja hanya untuk sebuah kampanye  para politisi untuk diiklankan pada masyarakat. Pilihlah saya dan saya akan membawa perubahan pada kehidupan anda-anda. Sistem demokrasi yang entahlah sangat mahal dan tanpa efek yang berguna dan nol manfaat bagi masyarakat ekonomi super lemah, yang ada  hanya sebuah pencitraan menjemukan saja, manis di bibir, manis di baliho, manis di ucapan tapi payah dan asem ditindakan.  Walau saya masih sedikit meyimpan asa,dan berharap ada seupil orang diantara segelintir politisi yang memang berjuang untuk rakyat, bukan untuk yang pemodal berduit. Mungkin ada atau entah saya bermimpi ada sosok tersebut tersempil diantara sampah-sampah politikus.


Ahh, derita rakyat, ya silahkan nikmati sendiri, kami politisi hanya bekerja sesuai orderan atasandangolongan kami”.


Dan kembali  saya meracau tak tentu arah, maafkanlah.


5 komentar:

  1. Kalau sedang merasa begitu, selalu saja teringat tentang orang-orang di luar sana... saya memang belum pandai bersyukur..
    dan saya sedang terus berlatih menjadi pribadi yang selalu bersyukur

    BalasHapus
  2. karena hidup terus belajar :)

    BalasHapus
  3. pasti ada, pasti masih ada satu calon pemimpin yang baik di antara yang busuk... yah walopun tetep aja sih, susah juga kalo cuma bener sendirian..

    ini curhatan orang-orang yang sebenarnya dah pesimis berat sama negeri ini tapi terus dan terus saja berharap...

    BalasHapus
  4. pesimis tapi optimis saetik (naon deuih)..gkgkgkgk

    BalasHapus
  5. bila dilandasi iman akan lain ceritanya..

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan jejak anda.

Terima kasih sudah berkomentar