Sabtu, 11 Mei 2013

Rakutak, Sepanjang Jalan

Minggu, 7 April 2013

Di Stasiun Bandung
Sang mentari belum keluar dari peraduannya, gelap temaram masih menyeruak menyelimuti kota Bandung yang masih lengang dengan udara sejuk menyapa wajah. Minggu subuh yang sepi di bilangan Stasiun Bandung, kereta api patas sudah terparkir menunggu penumpang yang akan mengantarkan menuju stasiun-stasiun di sebelah timur Bandung. Tak lama, suara dari corong pengeras suara memberitahukan bahwa kereta patas tujuan ke arah cicalengka akan segera berangkat. Bergegas kami pun berjalan menuju peron dan masuk gerbong yang sepi. Kereta pun kemudian mulai bergerak menunaikan tugasnya, dan terbilang cepat kami pun akhirnya sampai di Stasiun Rancaekek hanya dengan hitungan sekitar 10 menit. Melewati pemandangan sawah yang tak terlihat gelap dan tentunya melewati sebuah Stadion anyar dekat Stasiun Cimekar yang bercahaya dari kejauhan. Stadion yang akan menjadi kebanggaan warga Jawa Barat yang sempat hangat dibicarakan karena salah satu usulan penamaannya merujuk pada nama wali kota Bandung yang menjadi saksi kasus korupsi, tapi untunglah namanya tak dijadikan nama stadion tersebut. 



Setelah perjalanan berkereta, perjalanan beralih menumpang angkutan kota. Oh, iya, saya lupa menyebutkan tujuan saya dan kawan-kawan satubumikita kali ini, tujuannya adalah menuju sebuah Gunung di Selatan Bandung, yaitu Rakutak. Sebuah Gunung yang memiliki ketinggian sekitar 1958 meter diatas permukaan laut (mdpl). Secara administratif gunung ini berada di Kec. Pacet, Desa Sukarame, Kab. Bandung, Jawa Barat. Seusai menumpang angkot sebanyak 3 kali, melewati rute Majalaya, Pacet dan berakhir di Sukarame. Gunung gemunung, hamparan sawah hijau serta sungai deras yang kecokelatan yang entah apa namanya menjadi pemandangan awal perjalanan menuju Gunung Rakutak.

Masuk ke gang pemukiman warga


Sekitar pukul 07:30, pendakian di mulai dari sebuah gang kecil di antara pemukimam warga. Rumah panggung berdinding bilik bambu yang khas, masih cukup  banyak kami temui di sana. Tak lama hamparan sawah yang hijau menyambut kami, jalan semen berubah menjadi jalan setapak becek yang semalam di guyur derasnya hujan. Setelah beberapa kali bertanya pada warga yang melintas arah menuju Gunung Rakutak, kami pun bergegas berjalan menuju sebuah vegetasi kebun pohon Bambu di bawah kaki Rakutak. Semangat kami ber-7 masih cukup terjaga karena ini baru awal perjalanan dan untuk sampai titik tertinggi Rakutak masih cukup jauh. Kebun pohon bambu terlewati, kemudian selanjutnya berturut-turut melewati beberapa anak sungai serta kembali melewati kebun-kebun warga yang ditanami kopi, kol, kentang, tomat, bawang, cabai dan masih banyak tanaman lainnya. Sebagain tanaman ditanam di kemiringan sebuah bukit dengan pola sengkedan. Kami pun sampai di sebuah dataran bukit tertinggi sebelum menuju puncak Rakutak yang menurut warga yang kami temui masih cukup jauh. 

Di kejauhan kami berdiri, tampak puncak Rakutak yang beupa kerucut kecil, di beberapa arah kami dapat melihat gunung-gunung lain yang tersaput kabut pagi. Sejenak kami pun menghela nafas yang mulai terhentak oleh tanjakan awal di kebun tomat tadi, sembari melepas dahaga, angin sejuk meyentuh wajah yang mulai bercucuran keringat. Kabut tipis lamat-lamat mulai turun, pemandangan sekitar pun seolah malu dan memilih bersembunyi di baliknya. Kaki kembali dilangkahkan, memang perjalanan ini tak seperti biasanya, karena kami tak membawa beban berat di pundak berkilo-kilo yang biasa berisi asupan tenda, matras, kantung tidur dan tetek bengek perlengkapan berkemah lainnya. Punggung dan pundak kami seolah berterima kasih karena tak menyiksa dengan bawaan yang berat, sekedar info tak penting kami hanya membawa bekal air minum beberapa liter dan beberapa makanan pengganjal perut.
salah satu jalur pendakian gunung rakutak

Semak-semak dengan tinggi sekitar 2 meter menjadi jalur lintasan selanjutnya, kemudian kami kembali menemukan kebun tanaman warga yang berada jauh di atas, sepertinya kebun warga di kawasan ini sudah naik mendekati puncak dan vegetasi pohon-pohon keras (hutan) semakin terdesak ke atas. Setelah sekitar beberapa jam berjalan, kami mulai memasuki vegetasi hutan dengan jalan setapak yang menanjak, jalur tanjakannya tipikal seperti Gunung Burangrang dan Cikuray dengan akar pohon yang banyak menyembul ke lintasan pendakian. Sekitar pukul 11:00, kami pun sampai di sebuah dataran kecil 3-3 meter persegisepertinya itu adalah puncak bayangan, pemandangan sekitar memang sangat tak terlihat saat itu, hingga sangat sulit mengenali dan mengamati medan dari kejauhan. Seperti yang telah banyak pendaki lain ceritakan, bahwa di jalur pendakian Gunung Rakutak terdapat jalur yang dinamakan sangat hiperbola, yaitu jembatan yang merujuk pada jalan di akhirat yaitu Jembatan 'Shirotol Mustaqim'. Jurang dengan jalur yang sering digambarkan pendaki lain cukup mengerikan dapat terlewati dengan lancar, mungkin karena efek kabut yang menghalangi sisi kiri kanan jurang tersebut. Menurut kami jalur tersebut masih cukup aman untuk di lewati. Sekitar 30 menit kemudian, kami pun sampai di sebuah tanah lapang kembali, kali ini ukuran yang lebih luas sekitar 7-4 meter persegi. Dan sepertinya kami telah sampai di puncak tertinggi Rakutak, entahlah.

Salah satu puncakan Gunung rakutak
Cuaca masih berkabut, perut-perut kami mulai meronta untuk diisi dan mulai membuka bekal, dengan menu makan siang "nasi kucing", bumbu kacang di tambah kol pemberian petani, ikan, telur, dll. Botram (makan bersama dalam bahasa sunda, red) yang cukup nikmat, berbaur dengan kawan dan alam. Suasana di puncak saat itu hanya ada kami ber-7, tak lama kemudian, datang 2 pendaki dari jakarta. Awan berisi air yang sedari tadi sudah tak sabar mengguyur, akhirnya menghujamkan air menuju bumi dengan derasnya. Perjalanan berlanujut menuju sisi berlawanan arah dari kami datang, untuk mencari titik tertinggi Rakutak. Hujan semakin deras di bumbui angin kencang. Setelah berjalan menyusuri jalur sempit di tengah punggungan, kami menemukan tanah lapang kembali, perjalanan kembali berlanjut, tapi kami malah semakin turun dan lamat-lamat dikejauhan seperti ada sebuah danau (Ciharus?), bisa jadi titik kami makan adalah titik tertinggi. Hujan pun tak surut mengguyur bumi, hingga kami turun gunung air langit masih menemani perjalanan kami di senja kala.
Kantong semar di gunung Rakutak
Kami pun cukup menemui keragaman tumbuhan di Rakutak dan sekitarnya, diantaranya tumbuhan pemangsa serangga atau Kantong Semar (Genus Nepenthes), lalu ada pula Edelweiss (Anaphalis javanica atau bisa disebut juga Javanese edelweiss), Ciplukan (Physalis peruviana, Linn.), Anggrek kuning. Untuk Kantung semar, mungkin cukup istimewa karena sekarang-sekarang ini sangat jarang sekali ditemui di gunung, ya mungkin karena habitatnya yang terancam juga akibat perburuan tanaman langka. Selain itu, entah istimewa atau tidak, kami pun sempat 2 kali berpapasan dengan cacing besar dan panjang, panjang tubuhnya sekitar 40-50 cm, dengan diameter/lebar tubuh sekitar 1-2 cm, sangat besar dan panjang untuk ukuran sebuah cacing. Entahlah apa jenis cacing tersebut, yang pasti kami temui saat hujan mengguyur setelah beberapa jam di sekitaran puncak.
  
Cacing besar di puncak Gunung Rakutak
***

Gunung Rakutak, selain menyimpan keindahan serta keanekaragaman tumbuhan hutanya, terutama bunga, juga menyimpan cerita sejarah. Ya, bila kita pernah belajar sejarah di masa sekolah dulu mungkin pernah mendengar cerita tentang pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) atau NII  (Negara Islam Indonesia) pimpinan Kartosoewirjo di Jawa Barat. Menukil laman wikipedia.  Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 – meninggal 5 September 1962 pada umur 57 tahun) adalah seorang dai karismatik yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya pada tahun 1949.
  
Singkat cerita, Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri. Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di J4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 12 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.
*** 
Gelap malam dalam angkot yang melaju bagai siput terendam, wajah-wajah lelah kuyu penumpang angkot yang sejak berjam-jam lamanya duduk membuat pantat panas. Di pojokan angkot, seorang kawan gelisah karena orang tuanya menanyakan kabar, "Kenapa belum sampai?" ... Baru sampai mana?. Di depan kemudi, sang supir dan kenek cukup banyak berkomentar tentang banjir yang menjebak mobil angkotnya yang keluaran lawas, mengakhiri cerita kami di hari itu.

Terima kasih






7 komentar:

  1. Gunung Rakutak,sepertinya patut dikunjungi nih... Thanx for sharing..

    BalasHapus
    Balasan
    1. yupp..silahkan dikunjungi dan tetap dijaga alamnya:)

      Hapus
  2. iyy itu cacingnyaaa meuni Bahdag, heuheu..meuni ageung kitu..hiii

    BalasHapus
  3. wahhh thanks banget infonya ...
    kalau gunung rakutak aman tidak sih kalau didaki tanpa ranger/guide ?
    secara belum ada anggota rombongan yang kesana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. insyallah aman kalau kita mengikuti jalur setapak yang ada dan tetap jaga perilaku selama pendakian. untuk info jalur bisa ditanyakan langsung ke kelompok pencinta alam di sana atau warga sekitar/petani :)

      Hapus
  4. pernah naik dari bandung selatan turunnya di garut. hahaha perjalanan panjang. danaunya sudah terjamah motor cross

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan jejak anda.

Terima kasih sudah berkomentar