Kamis, 29 Maret 2012

Catatan Perjalanan : Cerita Hari Sabtu di Gn.Puntang


Berbekal air minum, 6 bungkus nasi, 5 buah tahu serta tempe, 2 telur dadar yang rasanya sedikit asin dan satu sachet kecap manis cap Bango dan ditambah sambel ulek yang dibeli di warung si Ibu, saya bersama 9 teman lainnya memulai perjalanan seru di hari sabtu itu. Hari itu saya bersama teman-teman yang kebanyakan anak-anak "Backpacker" dari Bandung & Jakarta akan sedikit berpetualang di kawasan hutan Gn.Puntang di selatan Bandung. Kebetulan pula sabtu itu bertepatan dengan tanggal 24 maret yang mana pada tahun 1946 terjadi peristiwa bersejarah yaitu Bandung Lautan Api (Bukan "Bandung Lautan Asmara" ya).


Dengan semangat Bandung Lautan Asmara (eh salah, Api), kami ber-10 mulai berjalan perlahan memasuki kawasan Hutan Wanawisata Gn.Puntang yang berada di daerah Cimaung, Kabupaten Bandung. Wanawisata Gn.Puntang sendiri berada di kaki Pergunungan.Malabar yang terdapat di gugusan 5 Gunung yaitu : Gn.Malabar (2.329 M dpl), Gn.puntang (2.223 m dpl), Gn.Haruman (2.141 M dpl), Gn.Puncak Besar (2.189 M dpl) dan Gn.Reregean (1.874 m dpl). Wanawisata Gn.Puntang dibuka sejak tahun 1988 dengan menempati area sekitar 54,64 hektar dengan berbagai potensi wisata alam dan sejarah diantaranya : Wisata alam Curug (air terjun-red) Cikahuripan, Curug Gentong dan Curug Siliwangi, serta objek sejarah reruntuhan Radio Malabar, Komplek perumahan pegawai radio dan Gua peninggalan Belanda. 

Kolam Cinta
Objek pertama yang kami kunjungi adalah sebuah kolam kering yang biasa disebut dengan "Kolam cinta" karena mungkin bentuknya yang mirip lambang hati. Kolam Cinta dulunya adalah sebuah kolam bekas penampungan air untuk mikrohidro pembangkit listrik radio malabar, yang dibangun di zaman kolonial Belanda dulu. Dulu di depan kolam tersebut terdapat sebuah bangunan besar dan cantik yang berfungsi sebagai stasiun radio malabar. Sudah beberapa kali saya berkunjung ke kolam cinta ini tapi kok tetap saja saya belum menemukan cinta saya ya ? (maaf jadi curcol galau ..hehe).

Kolam Cinta, dok pribadi


Kawasan yang sekarang menjadi wanawisata Gn.Puntang ini sebenarnya menyimpan banyak sekali cerita sejarah tentang pertelekomunikasian di Hindia Belanda (Indonesia). Seperti yang sudah saya sebut sebelumnya di kawasan ini dulu pernah dibangun stasiun radio pertama yang menghubungkan Hindia belanda dengan negeri Belanda. Stasiun radio malabar di buka dan diresmikan oleh Gubernur Jendral Mr. De Fock pada tgl 5 mei 1923.

Objek selanjutnya yang kami tuju adalah Curug  Cikahuripan, curug tersebut berada tak terlalu jauh dari kolam cinta, jaraknya sekitar 500meter-an dari tanah lapang tempat berkemah, tapi karena tempatnya tersembunyi dan tak ada tanda petunjuk jalan banyak orang yang melewatkan objek curug ini. Curug Cikahuripan adalah curug kecil yang berair cukup jernih dengan ketinggian sekitar 6-7 meter. Setelah sesi foto-foto, kami kembali bergegas menuju objek selanjutnya sekaligus petualangan yang sebenarnya yaitu Curug Siliwangi. Untuk menuju Curug siliwangi memang memakan waktu yang cukup lama dengan jarak tempuh sekitar 3,5 km.

Pohon-pohon yang menjulang, tumbuh-tumbuhan hutan serta hijaunya pemandangan ditambah gemericik suara sungai Cigeureuh dari kejauhan dan kicauan burung menambah syahdu perjalanan kami dihari itu. Kami mencoba mengusir kebosanan dan kelelahan dengan berceloteh dan bersenda gurau diantara kami yang mungkin terkadang garing dan sedikit meracau kesana kemari..hehe. Setelah sekitar 4 jam kami berjalan dari mulai jalan setapak yang rata, menurun, menanjak serta menyusur dan menyebrang sungai, Alhamdulillah akhirnya saya dan ke-3 teman lainnya yaitu Vikki, Iwonk & Abe sampai di dekat Curug Siliwangi. Nah lho, yang 6 orang lainnya pada kemana tuh ? hehe. Tenang sodara-sodara, sekitar 20 menit kemudian teman-teman lainnya pun satu persatu berdatangan, saya absen dulu ya... Iiw, Abel, Popy, Flo, Silvi & Anto, lengkap semua.



Cuaca pun mendadak mendung kelabu berselimut awan hitam, kami lalu cepat-cepat membuka bekal yang kami bawa tadi di warung, Alhamdulillah sesuatu banget kalo kata Syahrini mah, kita masih bisa makan walaupun sederhana dan apa adanya. Belum sempat kami memasukan makanan ke dalam muluit, tiba-tiba hujan mengguyur, kami terpaksa berteduh di dalam naungan jas hujan milik Iwonk. Dan kami ber-10 makan sambil memegangi jas hujan di atas kepala kami sambil makan, alangkah indahnya dunia ini. Hujan makin besar dan makanan pun tak terelakkan lagi menjadi  makanan berkuah air hujan, tapi sekali lagi, Alhamdulillah, nikmatnya hidup ini. Kalo ingin membayangkan kami makan, mungkin pernah lihat orang yang kurang beruntung (maaf : orang kelainan jiwa dll) dipinggir jalan makan makanan sisa/bekas beralaskan kertas nasi dan tanah, nah kira-kira seperti itulah kami berjamaah makan di alam bebas dengan lahapnya.

Curug Siliwangi
Mengenai Curug Siliwangi sendiri seperti yang saya baca dari Buku "Jendela Bandung, Pengalaman Bersama Kompas" karya Her Suganda, disebutkan bahwa di tatar sunda terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Malabar yang dipimpin oleh seorang Ratu. Kerajaan tersebut masih berada dalam kekuasaan/bawahan kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi. Diceritakan pula bahwa Prabu Siliwangi dan Ratu tersebut menikah dan dikaruniai anak.

Curug Siliwangi, dok pribadi


Saat melahirkan sang anak tersebut, sang ratu berpegangan pada sebuah pohon besar yang berada di sekitar Gunung Malabar. Gunung tempat tumbuhnya pohon tersebut kemudian dinamakan Gunung Puntang. Dalam bahasa sunda, "Muntang" berarti berpegangan pada sesuatu agar tidak terjatuh, dalam hal ini ratu "muntang" ke pohon. Lalu setelah bayi itu lahir dibawalah ke Gunung Reregean untuk di bersihkan (dimandikan). Di tempat itu kemudian muncul air terjun (Curug) yang sekarang kita kenal sebagai Curug Siliwangi. 

Sekitar setengah jam kemudian hujan pun sedikit mereda. Kebanyakan dari teman-teman tak ingin meneruskan untuk mencapai Curug Siliwangi yang memiliki jatuhan air setinggi sekitar 50 meter dan memilih menikmati keindahan Curug dari jauh. Bisa jadi karena jalan yang harus dilalui cukup berbahaya apalagi sehabis hujan membuat jalan berbatu semakin licin, jadi hanya saya & ke-3 teman saja yang naik yaitu Silvi, Anto dan Abe. Setelah dirasa puas berada dikawasan Curug Siliwangi kami pun bergegas  "turun gunung", dan lagi-lagi hujan besar pun turun lagi menemani perjalanan panjang kami.

Air sungai Cigeureuh yang tadinya jernih sekarang terlihat sedikit berwarna coklat dan arusnya menjadi sedikit liar dan deras. Petualang pun menjadi cukup menantang dan sedikit berbahaya. Kami harus beberapa kali menyebrang  sungai berarus deras dan sesekali membuka jalan semak belukar melipir sisi sungai. Setelah berjuang dengan semangat Bandung Lautan Api akhirnya kami pun dapat melewati rintangan-rintangan yang disuguhkan alam ciptaan sang Pencipta kepada kami, sekali lagi Alhamdulillah, masih diberi keselematan.

Senja pun datang, langit berganti gelap dan temaram, dan kami masih berjalan di dalam hutan. Akhirnya sampailah kami di warung si Ibu sebagai finish perjalanan kami. Dalam perjalanan turun kami kembali terbagi menjadi 2 rombongan. Perjalanan hari itu bisa dikatakan cukup lancar terkendali. Kami yang basah kuyup kehujanan sepanjang perjalanan tadi bisa bernafas lega karena tidak kemalaman di dalam hutan yang gelap dan sunyi. Sembari bercanda dan bercerita mengenai perjalanan tadi ditemani kopi, susu dan gorengan mengurangi dinginya malam itu. Itulah akhir dari cerita di malam minggu ceria sebelum kami beranjak pulang menuju Bandung.



Sumber Bacaan : Buku "Jendela Bandung, Pengalaman Bersama Kompas" karya Her Suganda.

Sampai bertemu kembali, terima kasih.

1 komentar:

Silahkan tinggalkan jejak anda.

Terima kasih sudah berkomentar