Jumat, 11 Januari 2013

Antara Cilincing dan Oud Batavia



Museum Jakarta

Bertolak dari Bandung menggunakan bis di terminal antarkota Leuwi Panjang, hari minggu siang itu bis yang saya tumpangi langsung cepat melaju tanpa banyak ngetem. Gerangan di hari itu tujuan saya adalah ibukota. Karena niat saya untuk jalan-jalan, jadi kemacetan serta tetek bengek hal yang menyebalkan khas ibukota sedikit saya lupakan, dan coba dibawa senang saja. Setelah keluar tol dan mendarat selamat di jalan dalam kota, saya langsung mencari shelter busway dengan jurusan Harmoni, dari harmoni lanjut naik busway lagi ke shelter RS Tarakan untuk janjian dengan teman bernama Gustaf orang Cimahi.


Sedikit intermezo, saya suka sistem yang diterapkan oleh busway (TransJakarta) yang memang cukup membantu. Karena bila kita ingin berpindah ke shelter lain kita tinggal turun di shelter pengalih dan naik busway jurusan tujuan kita serta tidak usah membayar tiket lagi, kecuali kita keluar dari area shelter atau turun di titik akhir pemberhentian busway. Sistem dan Busway tersebut sepertinya cocok juga diterapkan di Bandung yang jalannya cukup berliku tapi mungkin bisa jadi masalah besar bagi supir angkot.
Oke sudah, saya skip tentang busway. 


Singkat cerita, setelah janjian dengan Gustaf orang Cimahi yang mengadu nasib di Jakarta, sorenya setelah istirahat sebentar di kosannya di daerah Tanah Abang, kami berdua langsung meluncur jalan kaki dan naik busway dilanjut naik kopaja menuju tempat Mba Ibet di Cilincing. Tempat yang dimaksud adalah sebuah rumah yang dijadikan tempat belajar komunitas anak-anak sekitar Cilincing, kalo ga salah inget namanya Gubuk IPPA, lupa saya ga nyatet apa itu kepanjangan IPPA..hehe.


Setelah perjalanan dari ujung ke ujung Jakarta kami pun sampai di tempat yang di maksud. Seusai diantar oleh Juned yang saya kira masih sekolah tapi ternyata sudah lulus sekolah dan bekerja. Saya dan Gustaf pun akhirnya sampai juga di “gubuk” sehabis maghrib. Ini kunjungan kali pertama kami ke “gubuk” mba ibet, ya sebelumnya mba ibet sudah sering berkunjung ke Bandung saat kami ngadain kegiatan alam bebas atau pendakian gunung. Jadi kalo boleh meminjam istilah para pejabat, bisa dikatakan kami sedang Kunjungan Diplomatik (ribet amat..hehe). Oke simpel dan intinya sih silaturahmi, maen dan ngobrol.  

Mba ibet yang punya hobi jalan-jalan dan sudah pernah menginjakkan kaki di Mahameru bulan November lalu itu, mengelola dan merintis sebuah komunitas belajar dan pengarahan bakat untuk anak-anak sekitar Cilincing. Salut deh buat mba ibet. Pas kami kesana, anak-anak cepet banget akrabnya, anak-anak kecilnya ga canggung buat berinteraksi dengan orang baru yang berkunjung, tapi malahan saya yang sedikit canggung..hehe.


Saya jadi teringat saat pendakian ke Gunung Guntur Garut beberapa bulan yang lalu, saat malam di sebuah tanjakan maut yang asoy, Mba ibet menyerukan “Demi Kemanusiaan” . 


***

Cerita di ibukota kembali berlanjut, setelah kunjungan diplomatik ke Cilincing, esoknya di hari senin saya putuskan tuk jalan-jalan sendiri melihat secuil angkuhnya ibukota, karena Gustaf harus kerja. Kawasan pertama yang jadi incaran saya adalah kawasan kota tua, sisa dari “Oud Batavia” yang masih menyimpan keanggunannya dan tentunya sisa simbol keangkuhan masa kolonial. Tapi apapun itu, kawasan kota tua merupakan artefak bersejarah yang memang harus di jaga. Saya kembali teringat pada Bandung yang mempunyai kawasan “kota tua”, yaitu ruas jalan Braga. Braga memang pernah diwacanakan untuk dijadikan kawasan pedestrian seperti layaknya kota tua Jakarta, ya entahlah kenapa tidak terealisasi, atau mungkin memang wacana tersebut mengawang hanya menjadi wacana saja dalam konteks tanpa implementasi, entahlah. (hehe, sok kritis)


Oke, mari lupakan sejenak Bandung. Objek bangunan pertama yang saya cari adalah Toko Merah. Saya tertarik dengan sejarahnya yang sangat panjang, terlebih setelah membaca handsout yang berjudul “Toko Merah, Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung”  yang diberi oleh si ujang endey saudara saya beberapa tahun yang lalu setelah dia mengikuti tur sejarah di kawasan kota tua. Menurut handsout tersebut, Toko Merah dibangun pada tahun 1730 oleh Gustaff Willem Baron van Imhoff yang kemudian si Gustaff orang Belanda  (ingat bukan Gustaf orang Cimahi dan yang ini huruf ‘f ‘ nya ada dua)  tersebut jadi Gubernur VOC. Bisa dibayangin dong, umur bangunan tersebut udah  lebih dari 250 tahun.


Banyak bangunan yang menarik untuk saya nikmati di sisa kejayaan “Oud Batavia”, arsitekturnya cukup menarik dan unik, walau saya ga ngerti, hanya sekali-sekali menjadi penikmat arsitektur bangunan lawas khususnya peninggalan zaman Belanda. Bangunan menarik lainnya yang sangat mencolok karena ukurannya yang sangat besar di antara bangunan yang lain adalah Gedung Museum Jakarta, atau gedung balaikota (Staadhuis) yang menghadap ke area Taman Fatahilah yang berupa lapangan luas. Banyak pula ornamen di sekitar kawasan kota tua berupa meriam-meriam serta bola-bola batu peninggalan zaman dulu yang ditata sedemikian rupa untuk mengesankan ke “tua” an Batavia lama. Selain itu banyak orang yang menyewakan sepeda berjenis onthel atau sepeda wanita khas seperti noni-noni Belanda.

Selain banyak bangunan yang telah berubah fungsi, baik itu yang terawat, terbengkalai bahkan hampir rubuh pun ada. Ada beberapa bangunan yang masih di gunakan untuk berbagai keperluan seperti perkantoran ataupun museum. Beberapa museum yang menempati bangunan tua selain museum jakarta diantaranya, museum wayang,  museum keramik dan museum bank mandiri. Agak sedikit sial juga, saya datang saat hari senin jadi saya ga bisa masuk museum sejarah jakarta karena tiap hari senin tutup. Sedikit mencoba masuk ke lorong-lorong di tiap sudut kota tua yang kurang terjamah, kesan bangunan yang kusam membuat bangunan yang apabila di foto sepertinya memancarkan aura “tua” nya, dan sangat sayang kalo tidak diabadikan melalui jepretan kamera saku.
***

Esoknya saat hari selasa, sebelum saya pulang ke Bandung. Saya masih penasaran untuk sedikit mengeskplorasi kawasan Kota tua dan sekitarnya. Saya berniat masuk ke salah satu museum yang ada disekitar Kota Tua, tapi lagi-lagi saya sial. Saya malah menjadi malas  masuk karena melihat saking banyaknya orang khsususnya anak sekolah yang keluar-masuk museum. Kalo terlalu banyak orang di museum, kurang seru juga kan. Ya sudah, saya memutuskan untuk kembali mengitari bagian luar kota tua.


Kali ini saya berjalan ke area bantaran sungai Ciliwung. Bau dan airnya cukup hitam, sangat disayangkan pula. Saya pun mencoba menyusuri bantaran sungai ciliwung yang diapit oleh bangunan-bangunan peninggalan kolonial, waah kalo saja air sungainya bersih, jernih, herang, mencrang pasti keren banget. Berjalan terus sampai ke arah muara Ciliwung, sampailah saya di jembatan kota intan yang sudah tidak difungsikan. Lalu kembali menyusuri Ciliwung, dan saya pun sejenak terhenti di bangunan menara Syahbandar, kata petugas bangunannya sedang direnovasi. Dan saya pun akhirnya dapat masuk ke salah satu museum yaitu museum Bahari yang berada dekat dengan menara, saat itu museumnya sedang sepi atau entah emang sepi terus. Seperti namanya Bahari, museum tersebut berisi tentang seluk beluk perbaharian/kelautan/pelayaran di indonesia dari masa kerajaan-kerajaan hingga kolonial dan masa sekarang. Bangunannya cukup luas dengan terbagi menjadi beberapa ruangan. Setelah puas berkeliling museum, saya pun kembali ke kawasan kota tua dengan berjalan kaki kembali, dan ada objek menarik yang saya temui yaitu galangan kapal VOC. Tapi sangat sayang, perjalanan di hari terakhir saya di “oud batavia” itu, saya tak membawa kamera dan dapat mengabadikan lewat gambar.

Sekitar bada dzuhur saya pun tiba di Stasiun Kota yang notabene termasuk bangunan cagar budaya, dengan bangunan luar yang melengkung. Segera saja saya membeli tiket kereta patas ekonomi ke purwakarta untuk selanjutnya dari purwakarta diteruskan ngeteng menggunakan angkutan umum dan KRD ekonomi menuju Bandung. Yahh, Itulah seupil cerita perjalanan yang mungkin kurang menarik. 

Terima kasih semua, caww.

Catatan: Tulisan ini hanya sekedar catatan perjalanan pribadi saja. Foto tak ditampilkan karena memorinya ga ada di saya..hehe


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak anda.

Terima kasih sudah berkomentar