Karena akun para blogger di Multiply (Mp) bakal di gusur 1 Desember nanti, jadi sebelum lenyap saya pindahin sedikit-sedikit tulisan dari akun Mp (opakopik.mulitply.com) ke blog ini. Wilujeung!
Bandung, Minggu 24 Januari 2010
Minggu pagi yang cerah dengan matahari yang cukup hangat mengiringi langkah Derry dan Taufik. Entah apa yang mereka berdua lakukan menyusuri lintasan rel kereta api yang sudah tidak digunakan lagi. Mereka berdua mulai menyusuri rel kereta api yang sudah 'kadaluarsa' di bilangan Jalan Gatot Subroto sebelah kanan BSM (Bandung Super Mall). Lalu selanjutnya masuk ke jalan Turangga melewati pemukiman penduduk dan sungguh mereka tidak beruntung karena rel tersebut mentok di markas TNI. Tapi bongkahan-bongkahan sisa kereta api yang mulai berkarat terparkir membisu di antara rumput-rumput yang tinggi dan lapangan sepak bola.
Daerah tersebut adalah markas TNI divisi yang khusus 'memarkir' tank-tank baja. Terdapat pula sebuah tank baja yang dijadikan sebuah monumen di pertigaan jalan salam. Tank tersebut buatan Rusia (dulu Uni Soviet) yang diproduksi tahun 1963 dan masuk ke Indonesia tahun 1966 berjenis tank amfibi.
Karena tujuan mereka adalah menyusuri rel kereta api yang 'kadaluarsa', mereka berdua pun berbalik arah menuju tempat semula di jalan Gatot Subroto sebelah kanan BSM. Mereka berdua kembali menyusuri rel ke arah jalan laswi. Rel yang sebagian sudah menjadi tempat parkir karyawan BSM, tempat jemuran warga, warung, tempat tenis meja, tempat pembuangan sampah, bahkan ada yang membangun rumah di atas rel tersebut. Mereka berdua terus menyusuri rel tersebut di antara pemukiman-pemukiman urban yang sedikit kumuh dan padat penduduk. Ternyata rel yang mereka susuri tak terlalu panjang, hanya sekitar 1,5 km. Rel tersebut tenggelam di antara rumah-rumah warga. Langkah mereka berdua sementara terhenti di sekitaran jalan laswi sebelum perlintasan kereta api yang masih aktif/ digunakan.
Perjalanan menyusuri rel kareta api "Kadaluarsa" pun berakhir di sana. Karena mereka belum puas atas usahanya menyusuri rel, mereka berdua mulai menyusuri rel yang masih digunakan, dimulai dari perlintasan di jalan laswi. Mereka menyusuri pinggir rel dengan sangat hati-hati, karena banyak orang yang menjadi korban tertabrak kereta api yang sedang melintas saat berjalan di atas rel/ pinggir rel. Panas matahari yang cukup terik tak menyurutkan niat 'aneh' mereka berdua. Saat mereka tengah berjalan tiba-tiba melintas kereta api dari arah belakang yang cukup membuat kaget, karena jarak antara mereka dengan kereta hanya sekitar 1 m.
Di sisi kiri-kanan perlintasan kereta api berjejer rumah-rumah warga yang mungkin penghuninya telah terbiasa dengan suara bising dari kereta dan dengan segala resikonya. Setelah mereka berjalan menyusuri rel cukup jauh, mereka pun sampai di stasiun Cikudapateuh, Kosambi. Setelah berisirahat di stasiun tersebut mereka berdua memutuskan tuk melanjutkan perjalanan menggunakan kereta api ekonomi atau yang lebih populer disebut dengan KRD (Keret Rel Diesel). Setelah membeli tiket seharga Rp.1000/ orang dengan jurusan Cikudapateuh-Cicalengka (jurusan lokal/dalam kota). Kereta yang ditunggu para calon penumpang pun datang, kereta yang memiliki sekitar 8 gerbong tersebut langsung diserbu para penumpang yang sejak dari tadi menunggu.
Si Derry dan Taufik pun ikut berbaur dengan penumpang lainnya. Mereka berdua memilih duduk di tangga pintu masuk sebelah kanan (pintu kereta selalu terbuka). Kereta pun melaju cepat dengan mantap. Di dalam gerbong kereta cukup penuh sesak dengan para penumpang, suasananya cukup ramai seperti di pasar. Banyak pedagang makanan, minuman, aksesoris, pengamen tukang isi korek gas, pengemis, mungkin ada juga pencopet, penjahat bahkan tukang pijat refleksi pun ada. Semua berbaur menjadi satu di dalam kereta api yang sedang melaju.
Si Derry dan Taufik pun ikut berbaur dengan penumpang lainnya. Mereka berdua memilih duduk di tangga pintu masuk sebelah kanan (pintu kereta selalu terbuka). Kereta pun melaju cepat dengan mantap. Di dalam gerbong kereta cukup penuh sesak dengan para penumpang, suasananya cukup ramai seperti di pasar. Banyak pedagang makanan, minuman, aksesoris, pengamen tukang isi korek gas, pengemis, mungkin ada juga pencopet, penjahat bahkan tukang pijat refleksi pun ada. Semua berbaur menjadi satu di dalam kereta api yang sedang melaju.
Si Derry dan Si taufik malah asik menikmati suasana di pintu masuk dengan pemandangan berupa sawah sawah yang terhampar luas dan gunung gunung sebagai latarnya. Kereta ekonomi atau yang disebut KRD dan kepanjangannya sering diplesetkan menjadi "Kereta Rakjat Djelata".
Kereta pun kadang berhenti di stasiun-stasiun kecil untuk menaikkan dan menurunkan penumpang (seperti angkot/bus saja). Saat kereta berhenti di stasiun Rancaekek, terdapat banyak gerombolan Bondo Nekat atau Bonek (Suporter Persebaya Surabaya) yang akan pulang ke Surabaya sehabis Bonek tersebut mendukung Persebaya saat dijamu Persib di stadion Si Jalak Harupat kemarin (Sabtu).
Para bonek tersebut memang nekad hanya berbekal uang seadanya dan pakaian yang melekat mereka pergi ke Bandung. Walau Persebaya Kalah atas Persib (4-2) Bonek tidak begitu banyak berulah di sana, mungkin bonek dan Viking (Suporter Persib Bandung) adalah sahabat seperti taglinenya "Viking Bonek satu hati".
Para bonek tersebut memang nekad hanya berbekal uang seadanya dan pakaian yang melekat mereka pergi ke Bandung. Walau Persebaya Kalah atas Persib (4-2) Bonek tidak begitu banyak berulah di sana, mungkin bonek dan Viking (Suporter Persib Bandung) adalah sahabat seperti taglinenya "Viking Bonek satu hati".
Kereta pun mulai melaju kembali. Di sepanjang perlintasan kereta, banyak pula perlintasan yang memotong jalan raya tanpa ada palang penutup atau pun petugas, memang cukup berbahaya tapi inilah kondisi perkeretaapian di Indonesia. Akhirnya kereta pun sampai di stasin Cicalengka. Hari pun sudah semakin siang dan terik, para penumpang mulai berbondong-bondong turun dari kereta. Kereta pun sejenak parkir di stasiun tersebut menunggu jadwal keberangkatan berikutnya. Si Derry dan Taufik ikut turun dengan penumpang lainnya. Setelah selesai sholat dzuhur mereka kembali ke stasiun Cicalengka tuk meneruskan perjalanan selanjutnya menuju Padalarang. Setelah membeli tiket Rp.1000 jurusan Cicalengka-Padalarang mereka berdua naik ke kereta api yang masih terparkir.
Sekitar setengah jam kemudian kereta pun melaju kembali. Mereka berdua memilih kembali duduk di pintu masuk gerbong. Walaupun kereta dan jalur yang dilalui masih sama tapi mereka berdua cukup menikmati perjalanan tersebut. Mereka berdua seperti kegirangan menaiki kereta dengan bergelayutan di pintu masuk yang mana anginnya sangat kencang. Kedua orang 'aneh' itu seperti anak kecil berpostur tinggi, berkumis dan berjenggot yang sedang bermain di pintu kereta.
Kereta pun melaju semakin menjauh dari stasiun Cicalengka, melewati hamparan sawah dan rumah penduduk. Suasana di dalam gerbong masih sama, cukup ramai dengan segala aktivitasnya. Kereta mulai memasuki perlintasan yang ada di dalam kota Bandung seperi Braga, kircon, viaduct dsb. Kereta sejenak berhenti di stasiun Bandung untuk menurunkan/menaikkan penumpang. Dan penumpang di dalam gerbong pun menjadi semakin penuh sesak, tapi mereka berdua tak terpengaruh dengan keadaan tersebut. Kereta pun melaju kembali.
Daerah perlintasan yang banyak digunakan sebagai pemukiman cukup berdampak pada aktivitas sosial warga sekitar, banyak dari anak-anak yang bermain di atas rel, para ibu-ibu yang menjemur pakaian bahkan para remaja yang sedang masa puber pun menghabiskan waktu sorenya di perlintasan kereta api. Setelah melewati stasiun-stasiun stasiun kecil seperti Andir, Ciroyom, Cimindi, Cimareme, Cimahi, "Kereta Rakjat Djelata" pun akhirnya sampai di stasiun Padalarang. Suasana di stasiun terebut cukup ramai.
Karena tak ada tempat yang cukup menarik tuk dikunjungi di sekitaran Stasiun Padalarang dan hari pun semakin sore, Si Derry dan Taufik memutuskan tuk pulang dengan penumpang kereta kembali. Setelah membeli tiket jurusan Padalarang-cibatu Rp.1000, meraka berdua pun masuk ke kereta yang masi 'ngetem' distasiun Padalarang. Di dalam gerbong bagian paling belakang kereta dihuni oleh para pedagang, pengamen, pengemis yang biasanya berkumpul sebelum 'beraksi'. Para 'penghuni' tersebut seolah telah menganggap bahwa kereta adalah rumah kedua dan nadi hidupnya.Mmereka berjuang cukup keras tuk menghidupi keluarganya dengan sedikit kemampuan dan dengan segala keterbatasan. Di antara 'penghuni' tersebut terdapat 3 pemuda tunanetra yang berprofesi sebagai pengamen, walaupun ketiganya tak dapat melihat tapi mereka mahir memainkan gitar dengan cara yang cukup unik tapi menghasilkan suara gitar yang bagus. Walaupun dengan segala keterbatasannya mereka bertiga cukup gigih berjuang.
Karena tak ada tempat yang cukup menarik tuk dikunjungi di sekitaran Stasiun Padalarang dan hari pun semakin sore, Si Derry dan Taufik memutuskan tuk pulang dengan penumpang kereta kembali. Setelah membeli tiket jurusan Padalarang-cibatu Rp.1000, meraka berdua pun masuk ke kereta yang masi 'ngetem' distasiun Padalarang. Di dalam gerbong bagian paling belakang kereta dihuni oleh para pedagang, pengamen, pengemis yang biasanya berkumpul sebelum 'beraksi'. Para 'penghuni' tersebut seolah telah menganggap bahwa kereta adalah rumah kedua dan nadi hidupnya.Mmereka berjuang cukup keras tuk menghidupi keluarganya dengan sedikit kemampuan dan dengan segala keterbatasan. Di antara 'penghuni' tersebut terdapat 3 pemuda tunanetra yang berprofesi sebagai pengamen, walaupun ketiganya tak dapat melihat tapi mereka mahir memainkan gitar dengan cara yang cukup unik tapi menghasilkan suara gitar yang bagus. Walaupun dengan segala keterbatasannya mereka bertiga cukup gigih berjuang.
Pengamen tunanetra di KRD |
"Kereta Rakjat Djelata" pun melaju dengan akselarasi maksimum. Si Derry dan Taufik sekarang memilih duduk di pintu paling belakang. Sensasi yang dirasakan mereka cukup berbeda dengan sebelumnya.selain memotret kehidupan sekitar dengan 'kamera korek api'. Mereka juga merekam dalam ingatan. Hari pun mulai gelap dan semakin sore, mendung pun mengelayuti langit Bandung. "Kereta Rakjat Djelata" pun terus melaju membawa serta angan, mimpi, harapan serta semangat para penumpangnya.
Foto : Kamera Derry a.k.a Ujang Endey, kecuali foto Bonek-Viking dari pencarian di Google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak anda.
Terima kasih sudah berkomentar