Tatar Pasundan, Sekitar Abad 13-14 M
 
| Situ Panjalu, Foto jepretan sendiri | 
Terdapatlah sebuah kerajaan bercorak agama hindu di tatar Pasundan yang  dikelilingi benteng alamiah berupa pegunungan yang membentang membatasi  batas kerajaannya dengan kerajaan lain. Kerajaan tersebut adalah Kerajaan  Panjalu. Menurut kisah dalam babad panjalu saat masa kerajaan Panjalu  dipimpin oleh Prabu Sanghyang Cakradewa kerajaan Panjalu adalah kerajaan  yang makmur dan disegani karena kearifan, kebijaksanaan serta adilnya  sang raja dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Suatu masa  sang raja ingin agar kelak saat tua nanti manjadi seorang petapa atau  resi dan meninggalkan singgasananya, maka diangkatlah putera pertama sang  raja yang bernama Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota. Dan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora menjadi patih dan  senopati kerajaan/panglima perang. Nah untuk menjadi seorang panglima  perang maka dibutuhkan ilmu yang sakti dan kemampuan berperang yang  mumpuni maka diperintahkanlah Borosngora oleh ayahnya untuk berkelana  mencari ilmu dan berguru kepada Brahmana, petapa, resi dan orang orang  sakti lainnya di penjuru tanah jawa.
Berkelanalah Sanghyang  Borosngora, singkat cerita borosngora pun kembali dari perkelanaannya dan  pulang ke kerajaan panjalu. Borosngora disambut dengan meriah oleh para  kerabat kerajaan. Untuk mengetes kehebatan Borosngora sang raja  memerintahkan untuk beradu keahlian pedang dengan kakaknya (Sanghyang  Lembu Sampulur II) dihadapan para pejabat kerajaan. Saat keduanya sedang  asik beradu keahlian memainkan pedang, secara tek sengaja tersingkaplah  kain yang menutupi betis Borosngora dan tampaklah sebuah rajah (Tato)  yang menandakan pemilik tato tersebut menganut ilmu aliran hitam. Sang  raja pun sangat kecewa terhadap borosngora karena ilmu hitam tersebut  tidak sesuai dengan falsafah hidup orang panjalu.
Sang raja pun  memerintahkan borosngora untuk membuang ilmu hitam tersebut dan tuk  kedua kalinya sang raja meminta Borosngora tuk berkelana dan mencari ilmu sajati  yaitu ilmu yang menuju keselamatan. Sang raja pun membekali borosngora  sebuah gayung batok kelapa yang di bawahnya diberi lubang lubang, apabila  Borosngora dapat menampung air dan airnya tetap penuh maka artinya  Borosngora telah menguasai ilmu sajati yang dimaksud.
Untuk kedua kalinya Borosngora pun berkelana dan mencari ilmu yang  dimaksud. Dengan berjalan tak tentu arah dan kebingungan borosngora pun  mencoba bersemedi dan berdoa meminta petunjuk. Setelah sekian lama  meminta petunjuk akhirnya Borosngora pun mendapat petunjuk bahwa orang  yang memilki ilmu sajati tersebut berada jauh di seberang samudra  di jazirah arab yaitu tanah suci mekkah. Setelah mendapat petunjuk  tersebut Borosngora pun bergegas pergi ke Mekkah dan konon perginya  tersebut hanya sekejap mata dengan kesaktian yang dimilikinya.
Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang  ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati  yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran  menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda  di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang  dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria  tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan  tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di  tanah.
Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah  datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan  pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir. Setelah bertanya apa  keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang  Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di tanah. Borosngora  pun segera memenuhi permintaan pria itu, pena yang menancap di tanah itu  ditarik sekuatnya ,namum pena itu tak bergerak sedikitpun.
Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya  bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui  kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya  tadi. Borosngora juga memohon kesediaan pria itu untuk mengajarinya ilmu  yang sangat mengagumkannya. Lelaki yang kemudian diketahui adalah  Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Borosngora  mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh  ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah  olehnya.
Setelah peristiwa itu Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba ilmu sajati  kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam (Agama  Islam). Di akhir masa menimba ilmunya tersebut Borosngora diberi wasiat  oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah  asalnya.Borosngora pun mempunyai nama islam yaitu Syeikh Haji Abdul Iman  dan diberi cinderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau  dwisula), dan pakaian kebesaran. Sebelum pulang Borosngora juga menciduk  air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air  zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan sempurna.
Sinkat cerita Sanghyang Borosngora kembali ke Panjalu dan disambut  dengan suka cita oleh sang raja beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang  Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana.  Sang Prabu yang telah tua menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan  memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan  menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur  II.
Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan  cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah  yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian  ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman  paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan  syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah  yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan  Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas,  Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang  menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan  kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam  yang sebelumnya bercorak Hindu.
Sebagai media syiar Islam,  Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang  diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual  penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang  setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya.  Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk  memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa  masuknya Borosngora memeluk islam.
Panjalu, Ciamis 15 Mei 2010 
| Curug Tujuh Panjalu, Foto Jepretan sendiri | 
Beberapa ratus tahun kemudian, seiring perkembangan jaman panjalu  berubah menjadi sebuah nama daerah/kecamatan dikabupaten Ciamis, Jawa  Barat. Sisa-sisa peninggalan kerajaan masih terdapat di beberapa titik di  Panjalu seperti Pasucian Bumi Alit atau yang lebih dikenal Bumi Alit  tempat menyimpan pusaka Sanghyang Borosngora dan pulau nusa gede yang  berada ditengah situ lengkong yang saat pemerintahan Sanghyang  Borosngora adalah pusat kerajaan Panjalu serta saat jaman belanda (1919)  dinamai pulau koorders sebagai bentuk penghargaan kepada  Dr.Koorders,seorang pendiri sekaligus ketua pertama perkumpulan  perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863,dan ini  menjadikan Panjalu sebagai daya tarik bagi para pencinta wisata ziarah.
|  | 
| Di depan gerbang pasucian bumi alit, Foto Jepretan sendiri | 
Selain wisata ziarah panjalu pun menjadi tempat yang cukup menarik bagi  para pencinta wisata untuk berekreasi,seperti di air terjun (curug)  tujuh cibolang.Curug tujuh cibolang dibuka untuk umum sekitar tahun  1986-1987 an sebagai wana wisata (ada outbound dan perkemahan) Sebelum  dibuka menjadi wana wisata curug tujuh cibolang adalah tempat yang  dianggap mistis dan keeung serta jarang ada warga sekitar yang  mau mendekati kawasan curug,tapi keindahan dan kesegaran air curug  lambat laun mengikis rasa mistis dan angker tersebut dikalangan  warga,kurang baiknya akses jalan dan menuju curug menjadikan curug  tersebut sulit tuk dikunjungi oleh orang dari luar ciamis,tapi semua itu  menjadikan kawasan curug terjaga dan tetap asri karena tidak terlau  banyaknya pengunjung.
Curug tujuh kenapa dinamai seperti itu  dikarenkan memang memiliki tujuh buah curug yang beragam ketinggian dari  yang mulai sekitar 100m lebih sampai yang hanya 2 meter an saja.konon  air curug pun berkhasiat karena sumber air yang berasal dari kawah  gunung sawal yang mengandung belerang.
Cipratan dari atas curug dan  kilauan pelangi menambah indah pemandangan ciptaan sang Kholiq  tersebut. Menurut warga sekitar terdapat pula di kawasan atas curug  deretan batu hitam yang biasa disebut dengan "batu kereta api" karena  memang katanya deretan batu tersebut mirip batu gerbong kereta api yang  berjejer (12 jejer) tapi untuk mencapai batu tersebut cukup sulit dan  harus dipandu warga sekitar.
Keindahan alam dan kearifan budaya  tersebut kadang dirusak oleh kita sebagai manusia yang seharusnya  menjaga kelestarian lingkungan dan budaya tersebut. (opik)***
Keterangan disarikan dari berbagai sumber 
***
Karena akun-akun blogger di Multply mau di gusur jadi postingan saya di sana di angkut kesini. Postingan link aslinya http://opakopik.multiply.com/journal/item/12/PanjaluSebuah-Sejarah-Sepenggal-Kisah 
 
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak anda.
Terima kasih sudah berkomentar