Selasa, 21 Januari 2014

Catatan Perjalanan : Gunung Kerenceng (Bagian 2)



Sekitar  30 menit perjalanan dari stasiun cicalengka menuju  titik awal pendakian di Jambu aer, perjalanan pendakian pun kami mulai. Jalur awal merupakan perkampungan dan ladang perkebunan sayuran warga.  Jalur menuju pucuk tertinggi Kerenceng memang tidak ada petunjuk arah sama sekali, dan petunjuk arahan dari warga sangat berguna sekali sebagai navigasi  kami. Selepas berjalan sekitar 1 jam, sampailah kami di vegetasi hutan, ditandai dengan sebuah plang hijau kusam milik perhutani. Hutan yang kami lalui memang tidak cukup rimbun oleh pepohonan, namun semak dan ilalang yang harus kami lewati cukup tinggi, sekitar 1 meter lebih, bisa jadi karena jalur tersebut mungkin jarang dilalui. Namun disyangkan di beberapa titik kami temui tunggul-tunggul dan dahan-dahan pohon berserakan sehabis ditebang.




Medan yang kami lalui memang tidak cukup jelas, karena sebagian besar jalur tertutup rimbunan semak. Semakin mendekati puncak medan semakin menanjak melipir punggungan. Di jalur sebelum menuju puncak kami menemukan kumpulan tumbuhan kantong semar yang tumbuh berkelompok, ukurannya cukup besar, berwarna merah mencolok dan sepertinya mereka tumbuh bahagia di sana tanpa terganggu pencurian tanamana langka oleh ulah manusia (semoga).


Semakin mendekati puncak, vegetasi pohon mulai berkurang dan didominasi oleh semak. Jalur tipis berbatu yang di kiri-kanannya jurang menjadi jalur akhir menuju titik tertinggi di kawasan konservasi Taman Buru Masigit-Kareumbi. Kabut di siang bolong mulai beraksi, menyelimuti hari yang terik. Dan saya baru merasakan di tengah kabut yang tebal, namun hawa  begitu panas.


Dan setelah berjalan sekitar 3 jam akhirnya smpailah kami di sebuah kerucut yang di atasnya berupa dataran sangat kecil, dan itu adalah puncak Kerenceng. Puncaknya yang sangat sempit, untuk menampung kami ber-7 dan menyimpan tas pun cukup riskan. Dari atas, pemandangan khas puncak menghiasi makan siang kami yang kegerahan. Dapat pula kami menyaksikan Gunung Kareumbi yang bersebelahan dengan Kerenceng, serta jalur-jalur tipis “punggung naga”  yang akan kami lewati.


Sehabis makan siang, ba’da dzuhur, perjalanan turun dimulai. Kami memilih jalur yang berlawanan arah dari kedatangan awal . Jalur turun yang kami lalui merupakan jalur yang sekaligus menuju Gunung Kareumbi. Dari arah Kerenceng, ada sebuah persimpangan turun dan kita bisa melihat jalur menuju kareumbi ada di sebelah kanan jalur, dan bila akan menuju pemukiman warga tinggal lurus saja melewati beberapa puncakan dan punggungan yang mana jalurnya cukup jelas.


Tak terasa adzan ashar pun mulai berkumandang, dan sampailah kami di titik akir pendakian di desa Tegal Manggung. Dan perjalanan pun belum berakhir, kaki kembali harus melangkah jalur aspal belasan kilometer untuk menuju desa jambu aer dan diteruskan menggunakan kol buntung yang kami carter. Di kejauhan lamat-lamat terlihat kerucut Kerenceng yang tersaput kabut. Tak lama gemericik gerimis mulai membasahi cerita akhir perjalanan singkat kami. Semoga kawasan Gunung Kerenceng dan sekitarnya tetap hijau dan semakin lestari. 










13 komentar:

  1. wow keren kang...jadi pengen ngikut kalau ada acara lg dengan komunitas satu bumi kita :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya sebetulnya ingin juga bisa ikutan acara seperti itu bang weng :D

      Hapus
  2. tu puncaknya ya kang, kliatan terjal, indah banget

    masih ada kantong semar, tidak sembarang tempat bisa ditemukan

    BalasHapus
  3. wah mantap...pemandangannya indah sekali...:D

    BalasHapus
  4. wihh ada bunga kantong semar disana... Gunung Kareumbi udah sering denger, tapi Kerenceng baru pertama kali ini tau...

    BalasHapus
    Balasan
    1. pinggiran kerenceng sama kareumbi han :)

      Hapus
  5. ingat masa kuliah dlu, ska jga sya nanjak..

    btw pncak Kerenceng, sempit jga ya..

    salam kenal !

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya sempit, mksh sudah berkunjung, salam kenal juga.

      Hapus

Silahkan tinggalkan jejak anda.

Terima kasih sudah berkomentar