Rabu, 05 September 2012

Wacana Bandung Sebagai Pusat Pemerintahan Hindia Belanda

Apakah pernah terbayang di benak kita semua khususnya sebagai warga Bandung, bila Kota Bandung dijadikan sebagai Ibukota ataupun pusat pemerintahan Indonesia!

Kawasan ITB, sekitar tahun 1925, Foto http://yulian.firdaus.or.id


Ehmm, pasti banyak yang pro dan kontra dengan hal tersebut, bagi yang kontra dengan hal tersebut mungkin dikarenakan sebagai ibukota Provinsi saja Bandung sudah begitu sesak dan padat, bagaimana kalau menjadi ibukota Negara..”Beuki heurin ku tangtung wae ieu kota jigana teh”.


Wacana kepindahan ibukota dari Jakarta sebenarnya sudah pernah direncanakan, saat orde lama (pemerintahan Presiden Ir.Soekarno) ada usulan bahwa pusat pemerintahan akan dipindahkan dari Jakarta ke Palangkaraya namun wacana tersebut menguap entah kemana. Saat orde baru (Rezim Pemerintahan Soeharto) pun wacana tersebut muncul kembali dan kali ini usulan pemindahan ibukota menuju daerah Jonggol, Bogor tapi lagi-lagi rencana tersebut pun tenggelam setelah terjadinya krisis ekonomi dan tergulingnya rezim pemerintahan Soeharto dan dimulainya era Reformasi.

Nah, di era reformasi wacana tersebut mencuat kembali. Pada bulan mei 2006 dikarenakan pertimbangan ibukota Jakarta sekarang yang sudah penuh sesak, padat dan seringnya terjadinya banjir serta sudah tak layak sebagai Ibukota dan pusat pemerintahan. Dan lagi-lagi wacana tersebut hanya wacana tanpa realisasi yang jelas hingga sekarang, mungkin karena dibutuhkan dana yang tidak sedikit untuk memindahkannya.

Sebelum menjadi ibukota Jawa barat (Priangan) Bandung hanya desa pegunungan nan mungil (een kleine berg dessa) yang sunyi. Tapi setelah tumbuh menjadi ibukota Priangan pindahan dari Cianjur yang terkena letusan Gunung Gede tahun 1864, Bandung menjadi kota besar dengan sebutan Parisj van java atau Europa in de Tropen. Bandung pun sempat dikatakan sebagai Ibukota Asia Afrika oleh Perdana menteri India Pandit Jawaharlal Nehru lewat pidatonya dalam Konferensi Asia Afrika di gedung Merdeka pada tehun 1955.

Pemindahan pusat pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia (Jakarta) sebenarnya sudah muncul saat jaman penjajahan Belanda bahkan rencana tersebut bisa dikatakan matang dan kota yang dipilih saat itu adalah Bandung. Usulan tersebut dikemukakan oleh H.F Tillema seorang ahli kesehatan Belanda, menurut pertimbangan beliau Batavia sudah tak layak sebagai Ibukota ataupun Pusat pemerintahan dikarenakan Batavia yang terletak di dataran rendah atau pesisir pantai yang akrab dengan penyakit menular seperti malaria dan diare serta udara yang panas dan lembab yang sangat tidak cocok untuk orang Eropa khususnya para penjajah. Hasil penelitian tersebut ditambahkan pula oleh Dr.De Haas yang mencatat kematian bayi di Batavia yang cukup tinggi dan sangat tidak menguntungkan bagi bayi dan para ibu saat itu.

Lalu mengapa saat itu Bandung yang dipilih ..?

Karena Bandung adalah kota yang saat itu belum terlalu ramai dan kota dengan udara yang sejuk, nyaman dan topografi alam yang di kelilingi pegunungan yang indah yang mungkin sangat cocok dijadikan sebagai pusat pemerintahan sipil. Mungkin pula karena para pejabat-pejabatnya bisa berpikir dengan tenang dan bekerja dengan maksimal dalam menjalankan roda pemerintahan. Selain itu bisa jadi dikarenakan pemindahan pusat pemerintahan tersebut karena pusat militer Hindia Belanda yang sudah berada di Bandung terlebih dahulu seperti Departement Van Oorlog (DVO) atau Departemen Peperangan yang kini gedungnya dikenal dengan Gedung Sabau. Dan panglima Tentara Hindia Belanda yang sudah terlebih dahulu berkedudukan di Bandung.

Tapi usulan tersebut kurang mendapat dukungan dari Volksraad (Dewan rakyat). Berbeda dengan dewan rakyat, malahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu JP.Graaf Van Limburg (1916-1921) mengiyakan usulan pemindahan tersebut dan sangat bertekad memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke kota Bandung. Mungkin Gubernur jenderal tersebut sudah jatuh cinta dengan kota bandung, ataupun memiliki kepentingan pribadi.

Rencana pemindahan pusat pemerintahan sipil dari Batavia ke Bandung tersebut kemudian diikuti oleh beberapa instansi lain yang segera hijrah ke kota Bandung bahkan kantor pusat instansi tersebut masih ada di Bandung hingga sekarang seprti kantor pusat PT.Kereta Api Indonesia, PT.Telkom tbk, PT.Pos Indonesia, Direktorat Metrorologi, Direktorat Vulkanologi dan Bencana Geologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi dan instansi-instansi lainnya.

Sejak tahun 1916 Bandung sudah dipersiapkan menjadi Pusat pemerintahan dan Pengembangannya tersebut sudah dimulai dari tahun 1918. Dan sebagai pusat pemerintahan sipil maka infrastruktur berupa bangunan pun harus memadai. Komplek instansi pemerintahan tersebut rencananya dibangun diatas lahan seluas 27 hektar sumbangan dari Gemeente Bandoeng (Pemkot). Bentuk kawasan tesebut menyerupai 4 persegi panjang dengan sumbu lurus mengarah ke Gunung Tangkubanparahu. Naah, kawasan/komplek tersebut sekarang berada di Gedung sate sampai ke Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat dan sampai ke daerah Jalan Tubagus Ismail sekarang. Bisa dibayangkan betapa megah, besar dan indahnya kawasan tersebut.

Pembangunan pusat pemerintahan sipil tersebut dituangkan dalam rencana pembangunan gedung-gedung pemerintah (Gouverments Beedrijven atau biasa di singkat GB) yang sekaligus diharapkan bisa mencerminkan kolonial staad. Rencana tersebut dipimpin oleh colonel Geni V.L Slors (pensiunan tentara Belanda) dan ditangani oleh tim arsitek J.Gerber,R.H De Rood an G Hendrik serta Gemeente Bandoeng (Pemerintah kota Bandung). Rencana pembangunan pusat pemerintahan dikomplek tersebut kemudian terkenal dengan sebutan “Tapak Slors”.



Slors merencanakan setidaknya terdapat 14 kantor depertemen dan instansi pusat yang akan dibangun dan dipindahkan dari Batavia ke Bandung,seperti Gedung Depertemen Pekerjaan Umum (Depertement Verker en Gemeentewerken), Gedung kantor pusat Pos Telegraf dan Telefon (Hoofdbureu Past Telegraaf en Telefoon), Departemen Kehakiman (Depertement Van Justitie) dan departemen departemen lainnya.

Lahan yang kini dijadikan lokasi monument perjuangan rakyat Jawa Barat sekarang direncanakan sebagai Pusat pemerintahan (Centrale Regeering) dan Sekretaris Umum (Algemeene Secretarie) sedangkan lahan kosong yang sekarang menadi gasibu direncanakan menjadi sebuah kolam besar sebagai hiasan yang melengkapi keindahan komplek pusat pemerintahan tersebut.

Rencana pembangunan komplek pusat pemerintahan sipil Hindia Belanda tersebut hanya bisa terselesaikan 2 bangunan saja (sekitar kurang dari 5 % rencana pembangunan) dan pembangunan gedung-gedung departemen lainnya terhenti akibat resesi ekonomi dan terciumnya bau busuk korupsi (warisan kolonial tuk para pejabat sekarang). Dua Bangunan yang dapat terselesaikan adalah Gedung Depertemen Pekerjaan Umum (Departement Verker en Gemeentewerken) dan Gedung Kantor Pusat Pos, Telegraf dan Telepon (Hoofdbureu Post Telegraaf en Telefoon). Gedung yang direncanakan sebagai Depertemen Pekerjaan umum sekarang kita mengenalnya sebagai Gedung Sate yang berfungsi Sebagai Gedung Pusat pemerintahan Jawa Barat yang merupakan kantor dari Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa barat sedangkan Gedung kantor pusat Pos Telegraf dan Telepon Fungsinya sama seperti yang direncanakan yang kini namanya berubah menjadi PT. Pos Indonesia dan sebagian bangunan lainnya menjadi Museum PT. Pos Indonesia.

Gedung Sate
Akhirnya rencana pemindahan pusat pemerintahan tersebut pun batal ditengah jalan akibat resesi ekonomi sekitar tahun 1934 dan korupsi tapi untunglah kita masih bisa menyaksikan kemegahan bangunan gedung sate dan kantor pusat PT. Pos Indonesia.Gedung yang mempunyai seperti tusuk sate dengan menancapkan 6 bulatan tersebut menyimbolkan dana yang konon menghabiskan 6 juta gulden.


Gedung Sate Foto diambil sebelum acara "Mapping Gedung sate" 17 September 2011

Peletakan Batu pertama Gedung sate dilakukan pada tanggal 27 Juli 1920 oleh Johanna Catherina Coops yaitu putri sulung B.Coops (Burgemeester Gemeente Bandoeng atau bisa dikatakan sebagai Wali Kota Bandung saat itu), untuk pekerjaannya memakan waktu 4 tahun lamanya yang melibatkan ribuan tenaga kerja kasar dan pemahat keturunan cina.

Batu-batu yang dipakai sebagai fondasi maupun untuk bagian lainnya didatangkan dari daerah arcamanik ujung berung dan daerah sekitar gunung manglayang yang sebelumnya dipahat oleh pekerja keturunan cina tersebut lalu diangkut menggunakan kereta gantung menuju cihaurgeulis lalu dibawa menggunakan lori menuju lokasi pembangunan gedung sate.

Menurut arsitek terkenal dari Belanda Dr.H.P Berlage (1923) memuji anak didiknya yaitu J.Gerber yang mengarsiteki gedung sate dan mengatakan bahwa Gedung Sate merupakan bangunan monumental yang anggun dan mempesona serta memiliki gaya arsitek yang unik mengarah pada bentuk Indo-Eropeeschen architectuur stijl (gaya arsitek Indo Eropa).

Walaupun bandung tidak menjadi pusat pemerintahan sipil tapi “sisa-sisa” hasil pembangunannya masih dapat kita temui sekarang, selain pusat pemerintahan sipil berupa gedung sate ada pula kawasan pendidikan dengan peninggalannya berupa ITB yang masih berdiri kokoh, kawasan Kesehatan dengan Rumah sakit hasan sadikin serta kawasan-kawasan lainnya seperti ekonomi,perumahan,hiburan dan lain lain.

Sumber Reff:

Buku "Balai Agung dikota Bandung", penulis Haryoto Kunto.

Buku "Jendela Bandung Pengalaman bersama Kompas" ,penulis Her Suganda

"Harian Kompas" edisi 20 Mei 2006

Foto : Koleksi Pribadi

Terima kasih, semoga bermanfaat
-opik-


tags :  Wacana Bandung Sebagai Pusat Pemerintahan Hindia Belanda, bandung, batavia, hindia belanda , bandoeng

2 komentar:

Silahkan tinggalkan jejak anda.

Terima kasih sudah berkomentar