Rabu, 02 Mei 2012

Catatan Perjalanan : Bertualang ke Gunung Papandayan

Foto Bersama di Pondok Salada, Foto : Kamera Ajeng

Hari sabtu yang lalu, tepatnya tgl 28 April 2012, sehari sebelum saya berulang tahun, hehe, saya dan beberapa teman kembali mengadakan sebuah kegiatan wisata petualangan yaitu mendaki gunung. Gunung yang akan kami jelajahi adalah gunung api yang ada di kabupaten Garut yaitu Gunung Papandayan yang memiliki ketinggian 2.665 mdpl. Teman-teman yang berpartisipasi pada hari itu terhitung berjumlah 24 orang dari berbagai kalangan dan tidak hanya dari Bandung saja tapi ada pula yang sengaja datang jauh-jauh dari Jakarta, Kebumen serta yang paling jauh dari Palembang. 


Gunung Papandayan, Foto : Jepretan sendiri

Perjalanan kami mulai pagi hari di tempat berkumpul di Surapati Core, di bilangan Jalan Suci Bandung. Bertolak dari Bandung ke Garut, kami menyewa mobil Elf jurusan Bandung-Garut-Cikajang. Perjalanan dari Bandung menuju Terminal 1 (tempat parkir) Gunung papandayan memakan waktu sekitar 4 jam. Gunung Papandayan sendiri secara administratif berada di  Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Sekitar jam setengah satu siang kami pun memulai melakukan perjalanan dengan berjalan kaki (trekking) menyusuri jalanan berbatu yang dikelilingi tebing-tebing cadas Gunung Papandayan yang unik dan menakjubkan. Gunung Papandayan atau yang biasa disebut pula dengan "Panenjoan"  memiliki 2 buah kawah besar yang terkenal yaitu Kawah Emas dan Kawah Nangklak, tapi setelah meletus pada sekitar tahun 2002 kawah bertambah menjadi 4 dan Kawah Nangklak tertimbun material vulkanik berupa bebatuan.

Menurut beberapa sumber yang saya baca, nama Papandayan sendiri konon diambil dari "Panday"
yang berarti pandai besi. Menurut cerita jaman dulu dulu, saat masyarakat melintasi gunung ini, sering terdengar suara-suara yang mirip keadaan ditempat kerja pandai besi, suara itu berasal dari kawah yang sangat aktif. Demikianlah gunung ini kemudian dinamakan Papandayan oleh masyarakat disekitar gunung ini.

Papandayan sendiri tercatat beberapa kali erupsi. Di antaranya pada 1773, 1923, 1942, 1993, dan 2002. Letusan besar yang terjadi pada tahun 1772 menghancurkan sedikitnya 40 desa dan menewaskan sekitar 2951 orang. Daerah yang tertutup longsoran mencapai 10 km dengan lebar 5 km. Pada 11 Maret 1923 terjadi sedikitnya 7 kali erupsi di Kawah Baru dan didahului dengan gempa yang berpusat di Cisurupan. Pada April 2006 PVMBG menetapkan status Papandayan ditingkatkan menjadi waspada, setelah terjadi peningkatan aktivitas seismik. Pada 7-16 April 2008 Terjadi peningkatan suhu di 2 kawah, yakni Kawah Emas (245-262 derajat Celsius), dan Balagadama (91-116 derajat Celsius). Lalu pada 28 Oktober 2010, status Papandayan kembali meningkat menjadi level 2. Pada awal Agustus 2011 aktivitas Gunung Papandayan menunjukkan aktivitasnya. 

Menanjak batu, Foto : Ajeng
Perjalanan masih terus berlanjut, kami pun harus berhati hati melangkahkan kaki karena jalur berbatu yang kami lalui dulunya adalah bekas kawah yang tertimbun disertai asap-asap putih bercampur kuning yang mengepul keluar dari dalam batu berwarana kekuning-kuningan yang mengandung belerang. Tak usah ditanya baunya seperti apa, masker penutup hidung sudah siap sedia menghindari menghirup gas dan bau belerang yang menyengat. Bau belerang menemani perjalanan kami menikmati keindahan salah satu landscape tanah Priangan ciptaan Tuhan yang sedang tersenyum, alangkah indahnya. Perjalanan terus berlanjut, kami cukup beruntung karena cuaca saat itu cukup bersahabat dan cerah ceria. Jalur berbatu tetap menjadi dominasi di awal perjalanan kami, jalur yang harus kami lalui cukup bervariasi dari jalan berbatu, melipir sisi sebuah tebing cadas, jalan tanah setapak yang menanjak dan menurun.

Setelah sekitar 2 jam kami berjalan, sampailah kami di sebuah tanah lapang bernama Pondok salada. Saat kami sampai di Pondok Salada, ternyata di sana sudah banyak orang-orang yang mendirikan tenda, memang tempat tersebut sangat cocok untuk bermalam dan nenda karena selain tanah lapang yang datar juga sumber air yang cukup tersedia. Sejenak kami melepas lelah di sana sembari berfoto-foto, perjalanan kembali berlanjut untuk menuju Tegal Alun. Untuk menyingkat waktu, kami pun memilih memotong jalan untuk menuju Tegal alun, jalur yang kami lalui cukup terjal berupa tanjakan berbatu cadas yang besar-besar. Sekitar satu jam kami menanjak di "tantangan" tanjakan batu cadas, kami pun sampai di sebuah hamparan bunga edelweis, ya seperti sebuah Taman Edelweis yang dikelilingi pohon-pohon cantigi, sungguh indah dan cukup tersembunyi. Di Taman Edelweis tersebut, kami yang mulai kelelahan dan keroncongan mulai membuka bekal yang kami bawa. Dan salah satu dari "keindahan" serta kenikmatan mendaki gunung adalah saat makan bersama (botram) walaupun mungkin bekal yang dibawa hanya seadanya dan sederhana, tapi rasa kebersamaan menjadikan makanan serasa lebih nikmat.

Taman Bunga Edelweis, Foto : Ajeng

Sore mulai menggelayut, kabut tebal pun mulai turun perlahan disertai gerimis yang juga menemani. Perjalanan untuk menuju Tegal Alun pun berlanjut, kami mulai berjalan kembali menyusuri jalur yang cukup rimbun oleh semak dan ranting. Ternyata, jalur yang kami lalui hanya berputar di situ-situ saja dan kembali lagi ke Taman Edelweis tempat kami makan. Kami pun memutuskan untuk kembali turun dan tidak menruskan ke Tegal Alun, dikarenakan cuaca yang semakin tidak bersahabat, kondisi kami yang mulai kelelahan serta hari yang semakin gelap. 

Jalur turun yang kami lalui masih sama seperti saat naik, tapi kali ini tantangannya yaitu hari yang semakin gelap. Dan, Allhamdulillah sekitar 3 jam dalam kegelapan berjalan beriringan di kawasan Gunung Papandayan, kami pun sampai di start awal pendakian (Terimnal 1) sekitar jam 8 malam. Sungguh hari yang melelahkan tapi terbayarkan dengan panorama alam yang indah. Sekaligus hari yang menyenangkan bisa berkumpul dan mendaki bersama teman-teman baru serta menambah pengalaman, walaupun tak menginjakan kaki di puncak Papandayan. 

Foto, Kamera Ajeng



Jalan melipir tebing, Foto : Kamera Ulen bdg

Terima kasih untuk Tuhan, Alam dan semua teman-teman.

4 komentar:

  1. euleuh-euleuh kang acep widodo anastiyo nuju ka gunung milarian nyi eteung jenengan pak farli sanes kitu???

    BalasHapus
  2. Gimana Papandayan, indah kan? Hehe..
    Papandayan itu tempat penuh sejarah buat saya, hihi..soalnya Papandayan masih satu kecamatan sama rumah saya yang lama..kalo mau ke Papandayan pasti ngelewatin perumahan tempat saya tinggal

    BalasHapus
    Balasan
    1. yuups, indah !
      tp masih belum kejamah semua, masih penasaran sama puncaknya & pengen nge Camp di sana :)

      Hapus

Silahkan tinggalkan jejak anda.

Terima kasih sudah berkomentar