Bagi para pegiat alam khususnya di Bandung, mungkin Gunung Manglayang sudah tidak asing lagi. Gunung yang berada di kawasan bagian timur Bandung ini pun menjadi salah satu pemandangan sehari-hari warga kota, selain tentunya gunung-gunung yang mengelilingi Bandung seperti Gunung Tangkubanparahu. Gunung Manglayang yang memiliki ketinggian sekitar 1.824 meter di atas permukaan laut (m.dpl) ini memang cukup banyak memiliki jalur untuk didaki hingga puncaknya.
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 16-17 Agustus 2011 (16-17 Ramadhan 1433 H), saya yang diajak oleh bu wiwit dan 3 teman lainnya (Jang Yudi, Kharis dan Kang Asep) mencoba tuk melakukan petualangan ke salah satu puncak Gunung Manglayang. Saat itu memang masih dalam bulan puasa dan bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI yang ke-66 th. Start awal dimulai dari Jatinangor sekitar pukul 19.00, dari sana kami mencarter angkot tuk menuju kawasan Barubeureum yang menjadi titik awal pendakian. Jalanan gelap jatinangor yang cukup sepi kami lalui walau sang supir sendiri sebenarnya takut karena katanya suka ada begal, jadilah si supir meminta temannya untuk menemaninya. Jalan beraspal mulai kami lalui hingga kami berbelok ke arah kanan yang akan ke Barubeureum dengan jalannya yang
gagarinjulan . Mobil angkot yang kami tumpangi sempat tak kuat berjalan saat melewati jalan menanjak dan berbatu serta terpaksa sedikit didorong oleh kami.
Singkat cerita. Kami pun sampai di Barubeuereum yang berada di kaki Gunung Manglayang sebelah timur. Di sana terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai warung, tapi sayang warungnya tutup dan sepertinya si empunya sedang tidak ada. Di sana pun terdapat sebuah mushola dan bale-bale. Tidak ada orang di sana selain kami, suasananya sepi dan gelap. Setelah sholat dan makan (berbuka), pendakian pun dimulai. Jalan setapak yang menanjak serta cukup gelap harus kami lalui dengan cukup hati-hati. Pendakian malam memberi sensasi tersendiri, sunyi, gelap dan tenang, tapi entah kenapa fisik sepertinya cepat capek, mungkin karena efek malam atau karena seharian puasa ?
|
City Lights |
Setelah sekitar 1 jam berjalan, alhamdulillah akhirnya kami pun sampai di salah satu Puncak Manglayang, yaitu puncak prisma. Di sana bisa dikatakan adalah spot yang cukup bagus untuk menikmati landscape kota bandung dan jatinangor yang ada di bawahnya, dibanding dengan puncak utama yang terhalang pepohonan. Kerlap-kerlip lampu kota menghiasi malam berkabut menemani kami, sungguh indah. Tak terasa waktu pun berjalan cepat dan malam semakin larut, setelah mendirikan tenda kami sebentar beristirahat sambil menunggu waktu makan sahur tiba. Saya sendiri tidak bisa tidur dan tetap terjaga hingga sahur. Menjelang jam 1 dinihari datang sekelompok orang dari arah jalur sebelah barat, mereka katanya berasal Cibiru yang berjumlah 6 orang. Tak berapa lama datang pula segerombol anak-anak UNPAD yang datang dari arah Barubeureum (jalur yang sama kami lalui). Tak terasa waktu makan sahur tiba, kami pun menyantap makanan sisa semalam dan untungnya Kang Asep membawa peralatan memasak dan bahan masakan seperti kornet dan nugget. Subuh yang dingin menemani kami yang kata bu wiwit mah
teu eucreug sahur di puncak manglayang..hehehe.
|
Full team di Puncak prisma |
Setelah santap sahur dan sholat subuh, kami mulai sedikit berkemas. Pagi hari yang cerah pun tiba menyapa kami. Sebenarnya kami berharap dapat menikmati
Sunrise di puncak prisma tapi sayang awan hitam menutupi sang surya. Suasana di puncak cukup ramai oleh kami dan 2 kelompok lainnya. Udara sejuk dan dingin begitu segar menyapa kulit ini. Sayang pula kami tak membawa bendera merah putih hanya syal bertulis INDONESIA, tapi untung teman-teman dari Cibiru membawa bendera jadi bisa nebeng foto..hehehe. Sebenarnya ingin juga kami upacara di puncak. Setelah beres berkemas dan mengabadikan momen-momen kami pun bergegas turun gunung. Jalur yang kami pilih berbeda dengan saat mendaki, kami memilih arah jalur barat. Menurut teman-teman baru kami yang berasal dari Cibiru, jalur tersebut cukup ekstrim dan terjal.
Tebing Do'a
Jalur yang kami lalui adalah punggungan gunung dengan jalan setapak yang di kiri-kanannya adalah tebing-tebing yang cukup curam, kalo jatuh kesana sepertinya saya ga bisa lebaran deh dan nulis ini :). Di tengah perjalanan kami menemukan bunga simbol lambang keabadian, yups yaitu bunga edelweis. Bunga tersebut tumbuh di tepi jurang dan batu, cukup senang juga bisa melihat edelweis yang indah di Manglayang. Jalan yang kami lalui semakin sulit, kami harus menuruni jalur yang bisa dikatakan tegak lurus, tapi untung lagi kang asep membawa tali jadi dapat mempermudah perjalanan.
Jalur yang cukup ekstrim pun menanti di depan berupa tebing kecil vertikal dengan tinggi sekitar 8-10 meter-an. Menurut kang De bandits (saya lupa naman aslinya, itu ID Fb-nya) jalur tersebut dinamakan "Tebing Do'a", sepertinya bila melewati jalur tersebut kita harus sering berdo'a agar selamat. Sebelum melewati jalur "rintangan" tersebut, ada sebuah batu yang dinamakan "Batu Singa" mungkin bila dilihat dari salah satu sudut bentuknya mirip singa sedang duduk.
|
batu singa |
|
Tebing doa 1 |
|
Tebing doa 2 |
Dan memang benar kami harus sering berdo'a untuk melewatinya agar selamat dan bisa berlebaran nanti :). Alhamdulillah sesuatu banget, teman-teman baru kami itu membawa peralatan yang cukup lengkap seperti tali panjat yang cukup kuat dan panjang, hal itu sangat membantu kami turun dengan aman. Dan ternyata masih ada satu lagi "Tebing Do'a bagian 2" yang harus kami lalui, tapi kang De Bandits mengajak kami ke jalan yang belok bukan ke jalan lurus yang berbahaya. Jalan tersebut adalah jalan memotong, walaupun kami haru melipir sisi jurang yang cukup curam, konon di sana ada anak Pramuka yang tewas karena tertimpa jatuhan batu dari atas, ngeri juga denger ceritanya. Di daerah itu kami pun melihat seorang bapak yang sedang asyik menjaring burung dan menonton kami. Di daerah tersebut memang masih banyak burung-burung cantik bahkan burung elang pun masih ada.
Batu Kuda
|
Kang asep di batu kuda |
Perjalanan turun gunung semakin ramai dengan bertambahnya teman-teman baru. Setelah melewati jalur ekstrim yang cukup menguras tenaga, jalan turun kembali normal hingga kami sampai di Kawasan Batu kuda. Perjalanan saat puasa memang cukup menguras tenaga. Sejenak dengan sisa-sisa tenaga kami mampir ke situs Batu Kuda, sebuah batu yang (kata orang dulu) mirip Kuda sedang duduk. Kami memilih beristrahat di sekitar tempat yang biasa dijadikan perkemahan sebelum melakukan perjalanan pulang untuk mengisi tenaga agar tidak tepar. Dari Batu kuda, perjalanan belum berakhir, kami harus jalan kaki berkilo-kilo lagi sampai Cibiru untuk selanjutnya naik angkot menuju Cicaheum, ya itung-itung
ngabuburit. Ya itulah sedikit cerita perjalanan orang-orang yang sedikit tidak
eucreug .
|
Bunga edelweis |
|
Jalur |
Terima kasih untuk teman-teman dari Cibiru.
subhanalloh, udah 4 kali k manglayang namun belum pernah menemukan bunga 'abadi' nan indah itu. Beruntung sekali.. :)
BalasHapusjarang bgt & tumbuhnya di tebing jd rada susah nt nemuinnya ;)
HapusMemang ga bisa di sepelekan yang namanya alam meski memiliki ketinggian yang tdk terlalu maximal, pengen melipir kesana jadinya
BalasHapusgunung di lembang bandung memang paling asik buat liburan akhir tahun, nice post gans
BalasHapus