Kamis, 23 Juni 2011

Dari Dago - Ujungberung Via Moko dan Oray Tapa #2 (habis)

Cerita Sebelumnya KLIK DI SINI

Perjalanan pun berlanjut, tak jauh dari Oray Tapa kami melihat sebuah tanah lapang berumput sepertinya bekas sebuah taman atau apa. Tempat tersebut di lengkapi dengan sebuah gerbang dan jejeran pohon pinus yang berdiri rapih. Kami pun sejenak beristirahat di sana sambil menikmati pemandangan kota Bandung yang masih terlihat di atas sana. Di sekitar bawah tanah lapang tersebut terdapat pula sebuah kolam air mancur yang terbengkalai. Tak berapa lama datang serombongan keluarga yang akan makan bersama (botram) di sana. Menurut salah satu dari keluarga itu, tempat tersebut masih berada dalam daerah Oray Tapa tapi biasa juga di sebut daerah Cikawari.

Karena perjalanannya yang cukup menguras tenaga serta medan yang jauh, sepatu saya pun jebol, dan beruntung saya menemukan sendal jepit jelek yang hampir putus tergeletak di jalan dan masih bisa dipakai. Perjalanan pun masih sangat jauh, kami harus melewati beberapa desa agar bisa sampai di jalan besar (Ujungberung). Waktu dzuhur pun sepertinya telah tiba. Setelah selesai sholat di sebuah masjid kecil, sejenak kami meluruskan kaki di masjid kecil itu. Saat wudhu ternyata airnya berasal dari mata air yang langsung di alirkan ke tempat wudhu, airnya dingin dan segar.
Setelah sebelumnya kami melawati hutan Arcamanik, kami pun melewati sebuah daerah yang masih bernama Arcamanik. Menurut beberapa literatur, dinding/batu fondasi Gedung Sate terbuat dari kepingan batu ukuran besar (1 × 1 × 2 m) yang diambil dari kawasan perbukitan batu di Bandung timur sekitar Arcamanik dan Gunung manglayang.

Masuk dan keluar pemukiman penduduk (desa) harus kami jalani, entahlah sudah berapa berapa desa yang kami lalui. Jalan yang kami lalui berganti menjadi menurun. Cuaca pun berubah berganti dari panas menjadi mendung kelabu. Setelah berjalan-isrirahat-berjalan-istirahat begitu seterusnya, yang rasanya kami seolah tak sampai-sampai. Di kejauhan kami mendengar suara air yang jatuh dari ketinggian seperti sebuah air terjun. Dan ternyata setelah mencari sumber suara, di kejauhan kami melihat sebuah aliran air seperti air terjun besar, entah itu akibat longsor atau memang air terjun kami pun tak tahu.

Air terjun atau bekas longsoran ?


Dari Dago - Ujungberung Via Moko dan Oray Tapa #1

Sebelum saya lupa sama cerita perjalanan yang satu ini dan hilang dari file otak.

Seting perjalanannya udah lama sekitar setahun yang lalu, akhir bulan Maret 2010.

Gini ceritanya...

Hari minggu subuh yang dingin di kota Bandung, saya dan seorang teman sudah berada di sebuah masjid yang berada di dekat Terminal Dago. Setelah selesai ngelaksanain kewajiban sholat subuh, petualangan pun dimulai. Rencananya tempat yang akan dituju adalah sebuah bukit kecil yang berada di daerah Dago ke atas teruuus, di sana terdapat sebuah tempat yang bernama Daweung atau yang biasa disebut Moko.

Sebelumnya saya udah pernah ke Moko, tapi kebetulan teman saya itu belum pernah kesana dan ngajakin pengen jalan-jalan kesana. Memang teman saya yang satu itu seorang pelancong sejati, yang hobinya naik turun gunung, jalan-jalan di kota, petualangan di alam dan aktivitas jalan-jalan lainnya. Kenalnya pun emang saat jalan-jalan pas ke gua pawon. Namanya ga usah disebutin ya, cukup inisialnya aja Yanstri (ya itu di sebutin), hehe.

Balik ke cerita, dari Terminal Dago, kami berdua berjalan ke arah Dago atas, lalu berbelok dan masuk ke Perumahan mewah Dago View. Langit masih gelap dan sedikit kemerah-merahan. Kami berjalan melewati  jajaran rumah-rumah mewah yang sengaja dibangun menghadap ke arah View kota Bandung (Mungkin sesuai dengan nama komplek perumahan tersebut Dago view). Komplek tersebut memang berada di atas ketinggian yang memungkinkan kita untuk melihat pemandangan yang ada di bawahnya (view bandung), di sana kami masih bisa melihat kota bandung yang masih berkilauan cahaya lampu (City light).

Langit mulai terang, matahari mulai bangun dari peraduannya dan mulai bertugas menerangi bumi. Setelah melewati perumahan mewah kami pun melewati sebuah lapangan golf yang berada di komplek tersebut. Setelah melewati jalanan komplek yang beraspal tapi masih ada yang bolong-bolong, kami pun mulai memasuki jalan desa (Mekarsaluyu) yang rusak dan berbatu. Ya, komplek mewah tersebut berada dekat dengan desa yang warganya sehari-sehari kebanyakan berkebun sayuran.




Jalan semakin menanjak, di sisi kiri-kanan terhampar luas bukit-bukit yang telah ditanami oleh sayur mayur seperti kol,kentang, kembang kol dll. Di sana transportasi bisa dikatakan cukup sulit kalau pun ada itu hanya ojeg desa, yang mungkin ongkosnya pun cukup mahal. Biasanya para petani sayur di sana menumpang mobil bak terbuka milik tetangga, kalaupun tidak menumpang ya terpaksa berjalan kaki berkilo-kilo atau yang beruntung memiliki motor mungkin sangat terbantu untuk menuju kebun sayur yang kan digarap.



seolah awan begitu dekat

Tanjakan jalan semakin miring saja dan cukup menguras tenaga kami, tapi cukup terobati dengan udara segar dan tentunya pemandangan yang indah. Setelah sekitar 2,5 jam kami berjalan, sampailah kami di tujuan yaitu Moko. Sebuah bukit kecil yang terdapat di daerah tinggi pinggiran Bandung, disana terdapat sebuah warung yang bernama warung daweung. Warungnya seperti sebuah kedai atau kafe kecil, menurut saya ga ada yang istimewa sih kalau dilihat dari menu-menunya. Tapi yang cukup membuat istimewa adalah view kota bandung yang tersajikan disana, kita bisa melihat kota bandung yang dikelilingi gunung-gunung, sungguh indah. Kami berdua pun melepas lelah di sana sembari menikmati pemandangan, perut pun mulai berbunyi dan kami berdua memesan mie rebus..wew jauh-jauh tapi makannya tetep mie.

View Kota bandung dari Moko bila cuaca sedang bagus

Ada yang cukup disayangkan pula, view kota bandung saat itu sedikit terhalang oleh awan kelabu, ya walaupun keindahanya sedikit kurang maksimal tapi tetap indah kok viewnya. Setelah mie habis dan tenaga mulai terisi, perjalanan  pun kembali diteruskan kembali. Perjalanan di lanjutkan menuju daerah ujungberung,trek yang harus kami lalui selanjutnya dalah jalan becek dan berbatu. Terik matahari pun mulai cukup menyengat dan perjalanan terus berlanjut. Setelah cukup jauh meninggalkan Mok, ada sebuah persimpangan jalan, lurus dan berbelok ke kanan. Bila mengambil jalan lurus maka akan tembus ke Oray Tapa dan terus hingga ke Ujung berung. Namun bila kita memilih jalan yang ke kanan, kita kan menuju ke daerah cicaheum ataupun ke caringin tilu.

Karena saat dulu saya mengambil yang ke kanan (keluar di cicaheum), kami berdua memutuskan mengambil jalan yang lurus. Jalan yang harus kami lewati adalah jalan setapak dan masuk hutan. Kami sedikit risau karena daerah tersebut sangat sepi. Tapi untunglah setelah berjalan cukup lama, kami menemukan sebuah perkampungan kecil dan mampir sejenak mencari warung untuk membeli air minum, sayang saya lupa nama daerah kampung kecil itu.

Perjalanan pun dilanjutkan, masih menyusuri jalan setapak yang sepi dan sepertinya jarang dilalui. Kami pun kemudian memasuki kawasan hutan Arcamanik yang ditandai dengan sebuah plang bertuliskan Hutan Arcamanik. Setelah melawati plang tersebut, kami masih harus terus berjalan dan kami pun sampai di depan  sebuah wanawisata bernama Oray Tapa. Kami sepakat tak masuk untuk menghemat waktu dan uang .hehe. Kami hanya sedikit mengorek informasi tentang tempat tersebut dari bapak petugas loket, bahwa oray tapa adalah sebuah tempat/situs yang katanya dikeramatkan, Oray Tapa sendiri berarti ular tapa (semedi). Konon bila kita sedang beruntung kita bisa melihat ular tersebut..ehmm bukan beruntung atuh pak kalo liat ular lagi semedi mah..hehe

Foto : Koleksi Pribadi

Bersambung  KE SINI

Minggu, 05 Juni 2011

Catatan Perjalanan Ke Gunung Bukittunggul

Pagi itu, rintik hujan sempat turun sejenak basahi bumi cekungan Bandung. Tapi tak berapa lama hujan pun reda, langit pun cerah kembali dan menemani perjalanan saya beserta 10 teman lainnya yang akan bertualang ke salah satu Gunung tertinggi di kawasan Bandung Utara, yaitu Gunung Bukittunggul. Dari tempat berkumpul di sekitar Terminal Ledeng jalan setiabudi. Kami ber-11 memilih mencarter angkot jurusan St.Hall-Lembang dari Ledeng hingga ke daerah Cibodas (sebelum Pabrik kina). Untunglah jalanan saat itu masih lengang tidak terlalu padat hingga angkot yang kami tumpangi melaju tanpa ada hambatan.
Gunung Bukittunggul (2.208 Mdpl)